A chat with

Yenny Wahid, Antara Politik, Idealisme dan Peran Ibu

By : Shantica Warman - 2020-08-30 22:47:00 Yenny Wahid, Antara Politik, Idealisme dan Peran Ibu


Kita mengenal sosok Yenny Wahid, 45, sebagai perempuan multiperan yang powerful. Siapa sangka kalau dulunya ia cengeng, malas belajar dan suka menghayal. 

Obrolan bersama Her World Indonesia sore itu terasa sangat seru, diselingi tawa tergelak dari keduanya: Iwet Ramadhan sebagai host acara A Chat With dan sang tamu, Zannuba Ariffah Chafsoh atau yang lebih populer dipanggil Yenny Wahid. Awal tahun ini, Yenny dipercaya menduduki jabatan sebagai Komisaris Independen PT Garuda Indonesia Tbk, selain menjadi Direktur Wahid Institute sejak tahun 2004 dan Ketua Federasi Panjat Tebing Seluruh Indonesia. Spontanitas, kejujuran dan gaya bicara Yenny yang blak-blakan namun tegas membuat sesi wawancara ini terasa hidup dari awal hingga akhir.]

Sesi dibuka dengan pertanyaan tentang dampak Pandemi bagi seorang Yenny Wahid. Spontan ia menjawab,”Penghasilan jauh lebih menurun.” Tentu disambut tawa semua yang hadir, karena merasa senasib. Stres kah? “Saya kebetulan termasuk orang yang cukup optimis. Sehingga selalu mencoba melatih pikiran untuk fokus ke hal-hal positif,” jawabnya. 


(Baca Juga: Najwa Dan Najelaa Shihab Bagi Pengalaman Nikah Muda)


Wartawan & Karier Politik


(Pekerjaan pertama Yenny Wahid sebagai jurnalis.Foto:Dok/Yenny Wahid)

Karier pertama Yenny dimulai saat ia diterima bekerja sebagai jurnalis di sebuah surat kabar Australia, The Sydney Morning Herald. Saat itu ia baru saja menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Trisakti. Tidak tangung-tanggung, Yenny yang saat itu masih menjadi reporter, ditugaskan di dua area konflik di Indnesia, yaitu Timor Timur dan Aceh. “Saya sempat menyaksikan langsung baku tembak di depan mata. Dan saya pun pernah ditodongkan senapan di kepala,” kenangnya.

Jurnalisme dulu dan sekarang, terlebih di era digital sangat berbeda menurutnya. “Kita dibanjiri aliran informasi yang cepat, sehingga standar akurasi berita menjadi lebih relaks yang menurut saya menurunkan kualitas jurnalisme itu sendiri. Masyarakat menjadi skeptis dan sering percaya pada hal-hal yang tidak faktual, hoax.” Diakuinya, ia pernah menjadi korban jurnalisme gaya sensasionalis: saat judul ditulis tanpa adanya fakta. “Saya gemas,” tuturnya. Berbeda ketika ia ia masih bertugas sebagai reporter di akhir tahun 90an, prinsip jurnalisme sangat wajib diikuti, misalnya fact check atau cover both side.


(Baca Juga: Ucita Pohan: Semua Orang Pasti Pernah Merasa Insecure)


Saat sang ayah, Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI ke-4, Yenny pun mendampingi sebagai staf khusus kepresidenan bidang Komunikasi Politik. “Tapi saya tidak dibayar lho..” katanya seraya tersenyum. Tugas ini berlanjut di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, Yenny telah lulus sebagai Magister Administrasi Publik dari Universitas Harvard, Amerika Serikat. Tak lama mengemban tugas itu, Yenny pun mengundurkan diri karena ingin terjun langsung ke dunia politik dengan aktif di partai.

Aktivitas di partai inilah yang sungguh menggembleng Yenny yang kala itu masih berusia 30 tahun, dan harus memimpin banyak orang dengan berbagai karakter, kepentingan, dan tujuan. “Saya masih muda, baru pulang dari sekolah di luar negeri, idealis. Di situ saya learn the lesson untuk menjadi seseorang yang humble, tidak sok tau,” kenangnya. Yenny juga mengaku sangat stres dan kekurangan waktu. Kapok? “Terus terang saya trauma. Hati nurani serasa ditekan dengan menyaksikan politik yang kotor, meskipun banyak juga yang baik. Namun saya tetap merasa bersyukur mengalami masa-masa itu.”


(Baca Juga: Veronica Tan Bicara Cinta Dan Popularitas)


Kenangan Gus Dur

Banyak nilai dan kenangan Yenny akan seorang Gus Dur yang melekat dan menjadi pedoman hidupnya hingga kini. Keikhlasan dalam menjalani hidup dan idealisme bernegara ia dapatkan dari sang ayah. Yang paling menempel di benaknya hingga kini adalah nasehat bahwa hidup itu harus digunakan untuk orang banyak, bukan untuk diri sendiri saja. “Hidup itu pengabdian dan ikhlas.”

 Pedoman ini ia pegang kuat, termasuk saat mendalami politik. “Politik adalah tempat mengabdi. Jika kita berhasil membuat kebijakan untuk kemajuan rakyat, luar biasa rasanya. Hidup akan jadi lebih bermakna.” Saat masih menjadi presiden, Gus Dur sering curhat dengan gaya humor. Yenny melihat, bagaimana sang ayah bekerja untuk rakyat. 

 Saat kecil, Yenny mengaku cengeng, malas belajar, suka menggambar, penghayal, dan dapat nilai 3 untuk fisika. Oleh karena itulah saat diterima di Fakultas Psikologi UI, Gus Dur melarangnya untuk masuk. “Ayah tau persis saya suka menggambar, ngga akan betah kuliah psikologi.”

Kenangan lain yang ia ingat dari seorang Gus Dur adalah cara mengekspresikan rasa sayang terhadap anak-anaknya. Ayah adalah seorang Jawa yang dibesarkan dalam tradisi pesantren. Jadi sangat kaku dan berjarak dengan anak-anaknya. Yenny sering iri melihat hubungan teman-teman seusianya dengan ayahnya masing-masing. “Bisa gelendotan dengan bapaknya..” kenangnya. Suatu hari, Yenny memberanikan diri merangkul sang ayah yang sedang duduk santai di sofa. “Bapak kaget, saya pun sempat kaku. Tetapi setelah itu, barrier kami runtuh dan menjadi relaks. Alhasil, adik-adik tidak mengalami kekakuan seperti yang saya alami lagi.”


(Baca Juga: Dian Sastrowardoyo Semakin Sibuk Di Tengah Pandemi)


Peran Ibu & Bahasa Cinta


(Di balik kesibukan Yenny Wahid dan perannya menjadi ibu.Foto:Dok/Yenny Wahid)

Kesan powerful yang menempel dengan segudang peran yang diemban, tak membuat Yenny menomerduakan keluarga. Ia juga mengalami dilema seperti kebanyakan ibu bekerja. “Guilty feeling,” jawabnya saat ditanya. Seorang ibu yang bekerja punya beban yang lebih berat dibandingkan bapak. Yenny tidak mengendurkan ‘komando’ nya terhadap anak-anak walaupun sedang bertugas di luar rumah, bahkan luar negeri.

 Siasat menghalau guilty feeling? Yenny mencari panduan informasi dari segala sumber, termasuk buku-buku psikologi dan juga para ahli. “Dari semua itu saya menyimpulkan satu hal yang paling penting, yaitu kita tetap harus memiliki quality atau bonding time. Dan saya punya itu,” lanjutnya.

Ibu tiga anak perempuan ini masih mendongeng tiap malam, bergilir untuk anak-anaknya. “Kelonin mereka bergantian, dan siap menjadi pendengar sehingga saya tahu mereka sedang di titik apa.” Yenny dan suami sepakat untuk menjadi orang tua yang dapat memberi support system bagi anak-anak, kapan saja dibutuhkan. Ia pun menerapkan aturan dan disiplin yang cukup keras yang perlu dipatuhi semua. “Misalnya soal nonton TV, pakai gadget, semua ada waktunya. Jika mereka ingin bonus, maka harus erlebih dahulu melakukan hal-hal baik, seperti mengaji, baca buku, atau menemani Eyang seharian. Maka mereka akan dapat slot tambahan untuk bermain gadget di hari itu.”


(Baca Juga: Pede Berjerawat, Novia Nur Ismi Jadi Beauty Influencer Viral)


Menerapkan aturan pada anak, tidak membuat Yenny ‘melupakan’ hubungan romantis dengan sang suami. Di samping menghormati, menjaga dan mengerti hak dan kewajiban masing-masing, ia percaya ada yang namanya ‘Bahasa Cinta’. “Setiap orang punya bahasa cinta yang berbeda. Begitu kita mengerti bahasa cinta masing-masing maka sebuah hubungan akan lebih smooth,” jelasnya.

“Bahasa cinta suami saya bukan perkataan, tetapi act of service. Saat suami dinas ke luar kota, saya selipkan snack kesukaannya di koper, dan dia pun akan spontan menelpon saya dan mengucapkan terima kasih,” ujar Yenny memberikan contoh. Diakuinya, sang suami juga adalah orang yang sangat suportif, dan selalu membantu Yenny dalam mengembangkan potensi “Ia bisa menjadi ayah ASI saat anak-anak masih bayi, dan saya tugas ke luar negeri. Saat ada tugas ke luar kota, salah satu dari kami stay di rumah dengan anak-anak,” tuturnya lagi.


(Baca Juga: Percaya Diri Dengan Rambut Keriting, Ini Cerita Agnes Oryza)


Satu hal yang pasti, Yenny tidak akan mengurangi perannya untuk bisa berbuat lebih banyak lagi bagi masyarakat luas. “Sekarang saya sudah menjadi Ibu, keyakinan saya dalam berjuang bagi masyarakat lebh kental lagi. Saya ingin mereka punya masa depan dengan kualitas hidup lebih baik. Tidak ada korupsi, transportasi publik membaik, kualitas udara meningkat dan air sungai jernih..” Hal itu hanya bisa tercapai jika fondasi yang ditanam kuat. “Masih banyak yang harus diperjuangkan. Bersama-sama,” katanya menutup pembicaraan.

(Dirangkum dari wawancara Iwet Ramadhan bersama Yenny Wahid)



 





A chat with