Life & health

Kekerasan Seksual Tinggi, Ini Cara Ajarkan Consent Pada Anak

By : Kiki Riama Priskila - 2022-03-18 18:00:01 Kekerasan Seksual Tinggi, Ini Cara Ajarkan Consent Pada Anak

Seiring berjalannya waktu, dunia dipenuhi dengan segala hal yang tidak menyenangkan. Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual pada anak. Hal ini menjadi ketakutan tersendiri bagi para orang tua dalam mengasuh anak-anaknya.


Pengertian dari kekerasan seksual terhadap anak sendiri mengacu pada sebuah kegiatan yang melibatkan anak dalam aktivitas seksual, sementara pada saat itu anak tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberi persetujuan.


Aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain, bertujuan untuk mendapatkan kepuasan bagi pelaku. Termasuk dalam kegiatan ini adalah prostitusi atau pornografi, pemaksaan melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan atau alat vital untuk tujuan kepuasan dan stimulasi seksual, perabaan, dan pemaksaan terhadap anak.


Ini menjadi salah satu masalah sosial besar di masyarakat modern. Kekerasan seksual, biasanya tidak terjadi selama 18 bulan pertama kehidupan, walaupun ada juga kasus yang terjadi ketika anak berusia enam bulan. Berdasarkan usia korban, kasus kekerasan seksual banyak terjadi pada anak yang masih di bawah umur.


(Baca Juga: Jenis Kekerasan Rumah Tangga Yang Harus Kamu Tahu)


Mirisnya pelaku dari tindak kekerasan seksual tersebut bukan dari orang asing atau orang yang tidak dikenal, melainkan dilakukan oleh orang sekitar, bahkan tak jarang adalah orang-orang yang sudah dipercaya.



(Pastikan untuk menjaga komunikasi dengan anak. Foto: Dok. Andrea Piacquadio/Pexels)

Sebagai orang tua, pasti kamu akan khawatir dan takut meninggalkan si kecil sendirian tanpa adanya pengawasan. Apalagi ketika anak sedang berada di luar rumah, seperti di sekolah, rumah teman, atau bahkan di tempat umum yang sepi.


Kekerasan seksual pada anak memberikan dampak jangka pendek seperti masalah fisik, gangguan emosi atau perubahan perilaku sampai dengan gangguan perkembangan. Selain itu bisa juga memberikan dampak jangka panjang seperti adanya kecacatan, trauma berlebih jika bertemu orang asing hingga rasa tidak percaya diri. Sementara dampak lain yang berat bisa berupa kehamilan dini yang tidak diinginkan, terjadinya infeksi menular seksual, gangguan organ reproduksi, dan trauma psikis mendalam dengan segala akibatnya.


Namun seringkali, banyak anak yang tidak tahu bahwa dirinya sedang dilecehkan, atau ada pula yang tidak berani terus terang dan melaporkan kepada orangtuanya jika ia pernah mengalami kekerasan seksual tersebut. Dengan begitu anak wajib dilindungi dari segala kemungkinan kekerasan yang terjadi, terutama kekerasan seksual, karena mereka sedang dalam tahap tumbuh kembang.


(Baca Juga: 3 Situs Ini Bantu Kamu Awasi Predator Seksual Anak)


Berbagai usaha bisa dilakukan, mulai dari usaha preventif dan kuratif yang mengacu pada konsep bahwa semuanya harus diberikan secara utuh, menyeluruh dan komprehensif, tidak memihak pada suatu golongan atau kelompok anak, dilakukan dengan pertimbangan kepentingan terbaik bagi anak dengan mengingat haknya untuk hidup dan berkembang, serta tetap menghargai pendapatnya.


XXXXX


Sebagai orang tua, penting untuk mengajarkan kepada anak seputar seks sejak dini. Hal ini bukanlah sesuatu yang tabu, namun harus dilakukan agar kejadian seperti kekerasan seksual tidak terjadi dan bisa dicegah. Pemahaman mengenai pendidikan seksual bukan berarti mengajarkan bagaimana cara berhubungan intim kepada anak, melainkan lebih kepada memberi pemahaman tentang aspek biologis organ reproduksi anak, tentang menghargai tubuhnya, serta menghargai tubuh orang lain dan membangun komunikasi yang baik.


Berikut ini ada beberapa cara yang bisa dilakukan para orang tua pada anak untuk mengerti soal consent demi menghindari terjadinya kekerasan seksual.


1. Mengenalkan bagian tubuh


(Bantu si kecil mengenali tubuhnya. Foto: Dok. ???????/Pexels)

Orang tua sudah bisa memberikan pengetahuan seputar bagian tubuh, fungsinya, termasuk bagian intim sejak anak ada di usia balita. Usahakan untuk menyebut organ intim anak dengan bahasa medis atau bahasa formal. Hindari menggunakan istilah seperti “anu” untuk menyebut “vagina” atau “penis” agar anak bisa lebih memahami dengan jelas tentang bagian tubuhnya.

Jika menggunakan sebutan yang “aneh” untuk organ intim juga akan memunculkan kesan tabu di pikiran anak. Ketika anak merasa nyaman dan memahami makna dari organ intimnya, dia bisa lebih jelas dan terbuka dalam menyampaikan atau menemukan situasi yang tidak nyaman.


(Baca Juga: Cara Menghindari Pelecehan Seksual Di Tempat Kerja)


2. Ajarkan batasan dan privasi


(Berikan batasan yang jelas. Foto: Dok. Yan Krukov/Pexels)

Ajarkan pada anak bahwa organ intim yang dimilikinya adalah bagian privat dan tidak untuk dilihat bahkan disentuh oleh orang lain. Ajarkan juga bahwa ia tak boleh melihat dan menyentuh bagian intim orang lain, termasuk jika orang lain memintanya untuk menyentuh bagian intim orang tersebut.

Kamu juga perlu menjelaskan jika sebagai orang tua boleh melihat dan menyentuh bagian intimnya untuk membersihkannya. Selain itu, dokter juga boleh melihat jika ada orang tua di sampingnya.

Batasan ini tidak hanya berlaku bagi orang asing, tapi juga bagi orang yang dikenal, seperti sepupu, tante, om, guru, dan teman sekolah. Kamu juga harus menekankan bahwa walau anak menyukai orang itu, ia tetap harus menolak ketika orang lain memintanya untuk memperlihatkan organ intimnya.

Orang tua juga dituntut untuk lebih peka terhadap reaksi anak dan tidak boleh memaksanya untuk menerima atau memberikan pekukan atau ciuman dari orang lain.


3. Bangun komunikasi yang terbuka


(Bersikap terbuka pada anak. Foto: Dok. cottonbro/Pexels)

Seperti yang sudah dikatakan di atas, perlu adanya komunikasi yang lebih terbuka dengan anak. Tujuannya agar anak nyaman untuk menyampaikan segala sesuatu kepada Anda. Komunikasi yang terbuka juga dapat meminimakan penanganan hal-hal buruk yang dialami oleh anak, seperti bullying atau kekerasan seksual pada anak.

Pasalnya, para pelaku kekerasan seksual pasti meminta anak untuk merahasiakan kejadian yang telah dilakukannya. Karena itu, kamu harus bisa meyakinkan anak bahwa dia tak boleh merahasiakannya. Yakinkan jika anak tak akan kena marah jika dia menceritakannya kepadamu.

Beri tahu juga jika ada orang lain yang membuatnya tidak nyaman, di mana anak harus meminta orang itu untuk pergi atau menjauh darinya. Tekankan bahwa ia juga boleh berkata “tidak” pada orang yang lebih tua. Kuncinya ada pada membangun suasana yang positif di rumah, jangan terlalu cuek terhadap anak dan selalu luangkan waktu jika anak ingin bercerita.

Dengan membangun aura positif, maka anak akan merasa aman dan percaya, sehingga bebas menceritakan apa saja tanpa rasa takut ataupun segan.


(Baca Juga: Begini Cara Atasi Online Bullying)


4. Dampingi ketika menonton TV atau bermain gadget


(Awasi konten untuk si kecil. Foto: Dok. Julia M Cameron/Pexels)

Saat ada waktu luang dan anak menonton televisi, pilihlah tontonan dengan unsur edukasi bagi anak dan sesuai dengan usianya. Karena jika tidak sesuai dengan usia anak, mereka akan cenderung meniru apa yang sudah dilihat. Selain itu, perhatikan juga apa yang dibuka anak di gadget-nya. Bisa saja si kecil tak sengaja membuka konten yang berbau dewasa atau belum cukup umur.

Seiring dengan berkembangnya zaman, maka berbagai hal bisa dengan bebas ditemukan di internet. Para orang tua harus paham bahwa banyak konten-konten yang kurang pantas bagi anak. 


5. Hindari mengunggah foto anak sembarangan


(Bijak bermedia sosial. Foto: Dok. Porapak Apichodilok/Pexels)

Seringkali, terjadinya kekerasan seksual terhadap anak dipicu dari kebiasaan orang tuanya sendiri. Mungkin saja kamu sering mengunggah foto-foto yang tidak sepantasnya, seperti foto telanjang mereka saat bayi, foto anak saat setelah mandi, atau foto saat mereka bermain di pantai dengan pakaian yang cukup terbuka. Berhati-hatilah karena dunia internet yang luas bisa menjadi salah satu pemicu “penjahat” dalam melakukan aksi jahatnya. Gunakan media sosial secara bijaksana.


Mengenalkan istilah consent pada anak memang tak mudah. Perlu adanya keberanian dan kesiapan diri dari orang tua agar anak bisa lebih terbuka demi menjaganya dari hal yang tidak diinginkan. Komunikasi juga harus dilakukan secara bertahap agar anak bisa memahami dengan penuh.


(Penulis: Tiara Kandida)

Life & health