Life & health

Lapangan Kerja Bagi Penyandang Disabilitas, Sudah Selaras?

By : Her World Indonesia - 2024-03-21 17:00:01 Lapangan Kerja Bagi Penyandang Disabilitas, Sudah Selaras?

“Sebenarnya kalau berbicara tentang lapangan pekerjaan bagi disabilitas, kita harus bisa liat dari dua sisi. Yang pertama adalah dari sisi supply atau ketersediaan tenaga kerja disabilitas itu sendiri dan yang kedua adalah ketersediaan lapangan pekerjaan atau dari sisi demand,” ujar Marthella Sirait, Founder dan CEO Konekin Indonesia yang bergerak untuk menyuarakan inklusivitas dan peluang kerja bagi penyandang disabilitas.


Di tengah sorotan tentang kesetaraan dan inklusi, memahami sudah sejauh apa Indonesia mengupayakan pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas sangat penting. Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menegaskan komitmennya. Data menunjukkan bahwa sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia masih hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan/atau miskin akibat adanya pembatasan, hambatan, serta pengurangan hak yang mereka alami. Namun, sebuah terobosan muncul dengan hadirnya Pasal 53 dalam undang-undang tersebut.


Pasal 53 menjadi langkah penting dalam upaya mengurangi kesenjangan bagi penyandang disabilitas. Melalui pasal ini, pemerintah berupaya memberikan akses dan kesempatan lapangan kerja yang setara bagi mereka. Langkah ini sejalan dengan semangat Pasal 23 dalam Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan hak setiap individu atas pekerjaan, kebebasan memilih pekerjaan, serta syarat-syarat perburuhan yang adil dan baik harus terpenuhi.


Bisa dibilang peraturan ini bukan hanya sebuah kebijakan hukum semata, tetapi juga sebuah pernyataan komitmen moral untuk menghormati dan melindungi hak-hak dasar setiap individu, termasuk penyandang disabilitas. Perlu dipahami bahwa penyandang disabilitas bukanlah beban bagi masyarakat, melainkan aset berharga yang memperkaya keberagaman dan inklusivitas. Oleh karena itu, pemberian akses dan kesempatan yang setara bagi mereka bukanlah hanya sebuah kewajiban, tetapi juga sebuah investasi dalam membangun masyarakat yang lebih adil bagi semua.


Namun realitanya, masih banyak penyandang disabilitas yang belum bisa merasakan akses lapangan pekerjaan yang setara, termasuk masih banyak dari mereka yang hidup dalam kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) per 2022 melaporkan bahwa jumlah pekerja disabilitas di Indonesia baru mencapai 720.000 jiwa atau setara dengan 0,53% dari total penduduk yang bekerja.


Angka yang masih rendah ini menunjukkan setidaknya hanya 1% dari jumlah seluruh perusahaan yang terdaftar di Indonesia yang sudah berupaya memenuhi kuota pekerja disabilitas sesuai dengan regulasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. “Jadi, sebenarnya ketersediaan lapangan kerja bagi disabilitas di Indonesia perlahan meningkat karena dari sisi regulasi sudah ada yang mengatur dan juga perusahaan sekarang sudah mulai peduli. Namun, situasi ini belum ideal. Jadi, kuota 1% hingga 2% di perusahaan masih belum tercapai. Even di perusahaan pemerintah dan BUMN yang seharusnya menjadi contoh bagi perusahaan swasta juga belum semuanya mencapai kuota 2%,” papar Marthella mendukung data yang sudah ada.


Tantangan yang Nyata

Dalam upaya untuk menghadirkan lapangan pekerjaan yang setara dan memiliki akses yang sama bagi penyandang disabilitas, harus ada kesadaran dari publik, perusahaan, termasuk pemerintah bahwa stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas nyata masih ada. Hal ini juga yang membuat banyak komunitas hingga organisasi yang bergerak di isu ketenagakerjaan disabilitas menekan advokasi mereka secara masif untuk membantu mengubah sudut pandang terhadap penyandang disabilitas agar tidak lagi sebatas charitable issue melainkan human-right base yang artinya, memiliki pekerjaan bagi penyandang disabilitas merupakan sebuah hak yang memang harus dipenuhi.


Semua orang juga harus sadar bahwa terdapat dua fokus yang harus berjalan selaras, yaitu sisi supply dan demand. Sisi supply berkaitan dengan kesiapan pekerja disabilitas yang tentunya berkualitas dan memiliki dasar-dasar pemahaman terhadap dunia kerja. Dalam upaya ini, sebenarnya pemerintah melalui channel yang mereka miliki berupaya menghadirkan forum diskusi hingga pelatihan bagi penyandang disabilitas tentang kewirausahaan. Namun nyatanya, faktor yang dilupakan antara lain kesiapan penyandang disabilitas untuk menjadi pengusaha tidak bisa disama-ratakan.


(Baca juga: Apresiasi Her World Women of The Year 2022)


“Perlu disadari juga untuk menjadi pengusaha itu berkali-kali lipat lebih susah dari menjadi pekerja formal. Banyak juga yang sebatas pelatihan kemudian tidak difasilitasi dengan modal usaha, bagaimana mempertahankan bisnis, berkomunikasi dengan mentor dan klien bisnis, dan kebutuhan dasar lainnya sehingga ujung-ujungnya mereka tetap menjadi pengangguran lagi,” Marthella menjelaskan mengapa forum-forum pelatihan kewirausahaan masih banyak gagal dan belum menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja disabilitas.


Hal ini membuat banyak perusahaan menganggap pekerja disabilitas tidak akan cocok bagi perusahaan mereka. Oleh karena itu, dari sisi supply juga harus dipastikan bahwa penyandang disabilitas usia kerja sudah memahami konsep dunia kerja dan memiliki dasar soft skill yang diperlukan sehingga mereka berdaya saing.



(Ilustrasi lapangan pekerjaan. Foto: Dok. Pexels)


Dari sisi demand, pemerintah perlu menyadari bahwa regulasi yang sudah ada tidak bisa dibiarkan begitu saja. Artinya, harus tetap ada monitoring atau pengawasan terhadap praktik pemenuhan regulasi tersebut. Sebab, masih banyak perusahaan yang hanya sebatas memenuhi checklist kuota pekerja disabilitas dengan peraturan berlapis. Artinya, sebagian besar perusahaan membuka akses lapangan pekerjaan hanya untuk disabilitas tertentu saja.


(Baca juga: 5 Sosok Perempuan Disabilitas yang Menginspirasi)


Hal ini membuat makna setara dalam ragam disabilitas itu sendiri belum terwujud. Marthella menekankan bahwa pengawasan langsung dari pemerintah menjadi sangat penting untuk memastikan inklusivitas yang sejati tumbuh dan dijaga di lingkungan perusahaan, sehingga lapangan kerja yang setara dapat tersedia bagi semua jenis disabilitas.


Kolaborasi Pemerintah, Perusahaan, Publik

Keterbatasan kemampuan untuk menyediakan lingkungan fisik yang ramah bagi pekerja disabilitas juga menjadi alasan utama banyak perusahaan yang enggan merekrut mereka. Marthella mengusulkan pemikiran yang menarik, “Sepertinya perlu bagi pemerintah untuk memberikan insentif kepada perusahaan untuk merekrut pekerja disabilitas. Contohnya, di luar negeri, ada program insentif seperti pengurangan pajak atau subsidi untuk menyediakan akomodasi yang sesuai,” terang Marthella Sirait.


Pemerintah memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa akses dan mobilitas yang setara tersedia bagi penyandang disabilitas. Namun, kesadaran akan masih banyaknya tugas dan upaya yang harus dilakukan perlu ditanamkan dengan kuat. Terutama dalam aspek mendapatkan pekerjaan, di mana penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa lapangan kerja tidak hanya menjadi pemenuhan kuota sesuai regulasi semata.


Peran publik juga sangat vital dalam menjaga budaya inklusivitas di lingkungan kerja. Budaya ini tidak hanya mencakup pembukaan lapangan kerja bagi penyandang disabilitas, tetapi juga melibatkan kesediaan perusahaan untuk mendengarkan masukan dari para pekerja disabilitas setelah mereka direkrut. Ini merupakan langkah penting agar para pekerja disabilitas dapat merasa didengar dan dihargai, yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas mereka dan memberikan manfaat yang nyata bagi perusahaan. Dengan kerjasama yang solid, kesetaraan dalam dunia kerja bagi penyandang disabilitas dapat terwujud. Ini bukan hanya tentang memenuhi kewajiban atau menciptakan lingkungan yang inklusif, tetapi juga tentang mengakui nilai dan kontribusi unik yang dimiliki setiap individu, tanpa memandang status atau kondisi fisiknya


“Penyelarasan lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilitas harus diusahakan dari kedua sisi untuk mewujudkan makna setara dan layak yang berkelanjutan dan optimal.”


“Pekerja disabilitas bukanlah sekadar angka dalam statistik, melainkan individu yang memiliki hak hidup dan bekerja yang setara dengan yang lainnya.”


(Penulis: Adila Firani)

Life & health