Women Of The Year

Apresiasi Her World Women of The Year 2022

By : Vanessa Masli - 2022-11-23 13:30:00 Apresiasi Her World Women of The Year 2022

Marthella Sirait, 31

Founder Koneksi Inklusif Indonesia (Konekin)

OLEH KIKI RIAMA PRISKILA. FOTO: DOK. HER WORLD INDONESIA


Disabilitas masih menjadi penghalang terbesar bagi penyandangnya untuk bekerja dan berkarya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik 2022 ada 17 juta penyandang disabilitas kategori usia produktif di Indonesia, namun hanya sekitar 7,6 juta orang yang dapat bekerja. Inilah kenapa mewujudkan Indonesia yang inklusif merupakan salah satu mimpi besar Marthella melalui komunitas Koneksi Inklusif Indonesia (Konekin). Wadah sosial yang dirintisnya sejak 2018 ini berhasil menjangkau lebih dari 10 ribu orang untuk semakin inklusif melalui kegiatan-kegiatannya hingga memiliki relawan di 19 provinsi di Indonesia.


Beberapa program yang diusung oleh Konekin berupa program “Kawan Belajar” untuk membantu mahasiswa disabilitas dalam pembelajaran jarak jauh, Disability Equality Training (DET) kepada organisasi untuk mencapai pelayanan publik dan ketenagakerjaan inklusif, dan berkolaborasi dengan GRAB Indonesia untuk membantu 60 orang rekan disabilitas menjadi mitra GrabKios.


Perjalanan Thella dengan isu disabilitas bisa dibilang terjadi secara tidak sengaja. “Pada 2013, saya mengikuti program Indonesia Mengajar dan ditempatkan di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku. Dari sana, saya masih harus menempuh perjalanan sekitar 12 jam untuk mencapai ke desa tujuan,” kenang Thella. Ia pun mengemban tugas sebagai wali kelas 1 SD selama setahun. Di antara 30 siswa, menemukan ada tiga siswa yang berkebutuhan khusus. Akhirnya setelah mencari tahu, ketiga anak tersebut memiliki kondisi disleksia, cerebral palsy, dan learning difficulties. “Sayangnya, sedikit banget awareness tentang disabilitas di sana. Mereka percaya bahwa kondisi itu disebabkan aib orang tua,” lanjut Thella.


Banyaknya stigma terhadap penyandang disabilitas, membuat Thella ingin melakukan perubahan. Ia memperdalam ilmu tentang disabilitas dengan menempuh S2 di University of Birmingham, Inggris. Kembalinya ke Indonesia pada 2017, ia bekerja di Kementerian PPN/Bappenas sebagai tenaga ahli untuk membantu penyusunan peraturan Pemerintah turunan dari UU Disabilitas. Dari situlah Thella semakin banyak berkenalan dengan komunitas dan relawan disabilitas lainnya hingga tercipta banyak kolaborasi. Salah satunya adalah sosok Najeela Shihab yang akhirnya kini menjadi salah satu pembina di Konekin.


Sebagai orang dengan non-disabilitas, Thella sadar bahwa pendapatnya kerap dipertanyakan karena dianggap “tidak mengalami langsung”. Namun ibu satu anak ini percaya bahwa semakin besar gaungnya, semakin banyak yang mendengar. Ia juga mengaku ingin mendobrak stigma bahwa disabilitas hanya sebatas charity-based community. “Saya ingin menunjukkan bahwa ini bukan sekadar soal belas kasih, tapi juga tentang pemberdayaan,” tegasnya.


Kamila Andini, 36,

Sutradara


OLEH: VANESSA MASLI. FOTO: DOK. PRIBADI


Pelajaran hidup didapatkannya melalui berbagai medium seni, mulai dari musik hingga tari. Tidak ada niatan awal untuk masuk ke dalam bidang perfilman, Kamila justru menikmati dan mencintai perannya sebagai seorang filmmaker atau sutradara. Ketika mempelajari lebih dalam tentang film, Kamila tidak pernah merasa ada akhir dalam perjalanannya.

“Saya menemukan diri saya sendiri di medium tersebut [film] dan menemukan kesukaan-kesukaan saya di sana,” ungkap Kamila. Perempuan kelahiran tahun 1986 ini seperti memiliki tempat bermain untuk mengeksplorasi diri yang semakin hari, semakin menyenangkan. Plus, peran Kamila sebagai sutradara memberinya ruang untuk mengeksplorasi berbagai bidang seni yang ia sukai tanpa harus menguasai bidang seni tersebut.


Dalam perjalanan kariernya, Kamila pun menjadikan setiap filmnya sebagai medium untuk mengenali diri sendiri, baik potensi maupun preferensi. Kehadiran tokoh perempuan dalam setiap filmnya pun melalui proses organik yang mulai membentuk identitas film seorang Kamila Andini. Bagi Kamila, kehadiran tokoh perempuan dalam film-filmnya memberikan ruang bagi sang sutradara untuk relate dengan karakter sehingga lebih mudah untuk menghadirkan pemikiran maupun perasaan kecil yang memperkaya karakter tokoh tersebut. Ia juga tertarik untuk menghadirkan karakter-karakter perempuan yang bukan siapa-siapa tetapi menyimpan karakter kuat di balik kompleksitasnya.


Ranah film internasional pun menangkap pesan Kamila melalui film Yuni ketika ia dianugerahi Platform Prize dalam Toronto International Film Festival pada 2021, lalu baru-baru ini film terbarunya, Before, Now & Then (Nana) ditayangkan perdana di Berlinale 2022, salah satu festival film paling bergengsi di dunia. Namun, dalam setiap titik pencapaian yang Kamila raih, ia selalu memprosesnya secara internal. Bagaimana ia sudah bertumbuh sebagai filmmaker hingga hal-hal apa saja yang ingin lebih Kamila eksplorasi.

I don’t want to lose myself in anything,” ungkapan yang jadi pegangan Kamila untuk tetap rendah hati, terus belajar, dan mendalami dunia perfilman yang tidak ada batasnya.



Sharlini Eriza Putri, 35

Co-Founder Nusantics



OLEH VANESSA MASLI. FOTO: DOK. HER WORLD INDONESIA


Ketika lahir di keluarga yang dekat dengan dunia sains, Sharlini Eriza Putri tidak dapat mengingkari kecintaannya pada dunia tersebut. Namun ambisinya untuk membangun sebuah sistem ekonomi yang lebih sustainable dan sirkular membuat Sharlini tertarik mendalami Teknik Kimia di bangku kuliah.


Namun microbiome, yang menjadi elemen penting dalam perusahaan Nusantics miliknya, dikenali Sharlini saat melahirkan buah hatinya. Seorang ibu muda yang merasa insecure akan kualitas ASI-nya untuk diberikan kepada sang bayi sehingga mendorongnya untuk melakukan riset ke berbagai jurnal ilmiah.


Selain menemukan fakta bahwa minum ASI penting dalam membantu untuk bentuk sistem imunitas bayi, perempuan 35 tahun tersebut pun mulai mendalami tentang microbiome. Dengan perusahaan bioteknologi yang didirikan bersama dua rekannya ini, Sharlini mewujudkan cita-citanya sejak lama. Ia pun memilih untuk perkenalkan microbiome kepada masyarakat Indonesia melalui perusahaan dibandingkan sebuah komunitas.


 “Jadi microbiome itu tidak ada nilainya, people tend to take it for granted. Saya memiliki tesis kalau perubahan ke arah lebih baik dalam sisi microbiome ini tidak akan sustainable kalau tidak ada uang yang memang sustain untuk mendukung,” ungkap Sharlini. Itulah alasannya ia memutuskan untuk membuka Nusantics.


Setelah memperkenalkan microbiome melalui pendekatan kecantikan, Nusantics sudah berkembang dan berperan dalam berbagai aspek kesehatan masyarakat Indonesia. Mulai dari menciptakan Biome Scan untuk pengecekkan microbiome pada kulit, hingga kini, Sharlini bersama tim Nusantics tengah mempelajari kaitan microbiome dalam paru-paru dengan kecenderungan orang mengidap penyakit tuberculosis (TB), dan juga dalam proses menghadirkan tes deteksi virus HPV melalui urin. Harapannya, alat deteksi ini bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat dengan mudah.


Baginya, menjalani karier dalam dunia sains merupakan hal yang berat tetapi dapat dilalui dengan support system yang tepat. “Bagi wanita, meniti karier di dunia sains dan engineering, memiliki support system yang tepat itu esensial,” ungkap Sharlini.


Syukriyatun Niamah, 28

Founder Robries



OLEH NATASHA FITRANDA PUTRI. FOTO: DOK. HER WORLD INDONESIA


Alumni Desain Produk Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Syukriyatun Niamah, menganggap bahwa ayah memiliki peran yang sangat penting dalam hidupnya. Selain sebagai father figure, ayah juga menjadi perantara pertama bagi Syukriyatun Niamah yang mengajarkannya untuk peduli terhadap lingkungan, salah satunya adalah penumpukan limbah plastik. Isu ini yang kemudian memotivasi Syukriyatun Niamah untuk mendirikan Robries pada 2018.


Awal mula Syukriyatun Niamah mengenal isu penumpukan limbah plastik secara nyata ternyata ada kaitannya juga dengan komunitas Dolly di Surabaya. Pada saat itu, ia bertujuan untuk memberdayakan warga daerah Dolly melalui penjualan produk baru dengan memanfaatkan limbah plastik yang telah dikumpulkan. Sayangnya, Syukriyatun Niamah merasa hal ini belum cukup teratur, terutama ketika produk yang dihasilkan kurang laku terjual karena masih kurang rapi. Melalui Robries, Syukriyatun Niamah termotivasi untuk memanfaatkan limbah plastik menjadi barang baru yang berguna dengan penampilan lebih apik dan berkualitas.


Limbah plastik berhasil dimanfaatkan kembali menjadi barang furnitur dan home décor yang cocok sebagai hiasan penunjang estetika. Pemanfaatan limbah plastik menjadi furnitur ini sendiri didorong oleh mimpi Syukriyatun Niamah yang dulunya ingin mendirikan usaha furnitur dan gemar menggeluti bidang arsitektur. Melalui berbagai eksperimen yang telah ia coba, Syukriyatun Niamah akhirnya menemukan formula tepat untuk mengolah limbah plastik dengan baik dan benar.


Hingga saat ini, Robries telah berhasil melakukan kolaborasi dengan beberapa perusahaan hingga tokoh terkenal. Proyek terbarunya adalah “Luggage Trade-in” bersama brand koper Samsonite. Koper lama para konsumen ini nantinya akan melalui proses daur ulang menjadi produk non-single use yaitu paving block untuk dimanfaatkan kembali sebagai pelindung mangrove di Taman Wisata Mangrove PIK.


Robries juga berkolaborasi dengan Space Available dan DJ ternama Peggy Gou untuk menciptakan produk furnitur dan home décor yang menarik dari limbah plastik. Robries juga mendapatkan kesempatan untuk berkolaborasi dengan fashion brand IWEARUP dari Diana Rikasari untuk membuat sepatu high heels ramah lingkungan yang dibuat dari plastic food waste dan tutup botol. “Banyak orang masih menganggap memakai plastik berlebihan itu tidak apa-apa, toh nantinya akan di-recycle. Namun pemikiran ini salah dan tidak sesuai dengan prinsip 3R yaitu Reuse, Reduce, dan Recycle,” tuturnya.


Hal ini menunjukkan masih perlu adanya advokasi di masyarakat untuk mulai mengurangi penggunaan sampah sekali buang. Poin ini juga menjadi bentuk dorongan bagi Syukriyatun Niamah untuk terus menyebarkan awareness mengenai penumpukan limbah sambil terus melakukan aksi inspiratif untuk mengubah limbah plastik menjadi furniture siap pakai.


Aryenda Atma, 36

Founder Pable


OLEH NATASHA FITRANDA PUTRI. FOTO: DOK. HER WORLD INDONESIA


Aryenda Atma diingatkan dengan besarnya masalah penumpukan limbah melalui pengalamannya bekerja selama 10 tahun di korporasi yang banyak menyumbang sampah. “Berdasarkan research, regulasi dan sistem mengenai pengolahan limbah di Indonesia masih belum memadai,” jelasnya. Hal inilah yang kemudian mendorong Aryenda untuk mendirikan Pable, sebuah perusahaan pengolahan limbah tekstil.


Pable memulai perjalanannya di sebuah desa tenun di Pasuruan, Jawa Timur. Aryenda mengajak para pekerja tenun ini untuk menghasilkan kain dari bahan limbah tekstil yang telah dipilah oleh Pable. Saat ini, Pable telah berhasil memperkerjakan sembilan penenun dengan alat-alat yang lebih canggih untuk mempermudah proses kerja.


Pable juga telah memiliki formula tersendiri untuk menghasilkan kain daur ulang yang diinginkan dari proses pengolahan limbah tekstil. “Semaksimal mungkin Pable juga ingin mengurangi adanya residu yang bisa dihasilkan dari proses pengolahan limbah kami,” tutur Aryenda.


Kerja keras Aryenda dalam Pable telah membawa hasil yang luar biasa. Kain daur ulang Pable juga memenangkan penghargaan pada ajang Good Design Indonesia yang dilaksanakan oleh Kementerian Perdagangan Indonesia. Selain itu, kain daur ulang Pable juga ikut mewakili Indonesia pada lomba Good Design Award di Jepang.


Melalui proses tangan dan pemilahan limbah tekstil manual, kain daur ulang Pable punya keunikan yang mungkin dianggap “cacat” oleh orang lain. Namun, ketidaksempurnaan dalam kain inilah yang identitas dan karakter tersendiri bagi Pable. Selain produksi kain, pemberdayaan desa tenun lainnya juga menjadi misi Aryenda melalui Pable.


Intan Anggita Pratiwi, 36

Co-Founder Setali


OLEH KIKI RIAMA PRISKILA. FOTO: DOK. HER WORLD INDONESIA


Isu sustainable fashion kini semakin marak dibicarakan dan digemborkan. Namun, bukan isapan jempol juga jika harganya terbilang lebih mahal dibanding brand fast-fashion yang ada. Inilah yang menjadi concern Intan dalam mendirikan Setali, sebuah social enterprise yang fokus di bidang slow-fashion. Solusi pun hadir dengan mengusung konsep upcycling, yaitu menggunakan kembali kain yang lama dan mengubahnya jadi sesuatu yang baru.


Ketertarikan Intan pada proses recycling baju, ternyata didapat dari hobi orang tua yang sejak kecil sering diamatinya. “Ibu suka permak dan Bapak suka refurbished mobil,” ucap Intan membuka obrolan. Hal-hal yang awalnya tidak layak, nyatanya masih bisa disulap jadi sesuatu yang layak pakai. Meski begitu, istilah sustainable fashion belum terlalu populer kala itu. Hingga akhirnya ia menghadiri workshop tentang limbah laut di Jepang. Di sanalah wawasannya semakin terbuka terhadap isu limbah dan dampak negatifnya terhadap lingkungan.


Intan yang memiliki koneksi di industri musik, suatu hari dihubungi oleh Andien Aisyah, untuk membantunya memilah barang-barang bekas yang hendak dijual kembali dan dananya disalurkan untuk edukasi. Namun ternyata ada penumpukan limbah. “Setelah kita kalkulasikan, sekitar 80% adalah limbah fashion,” kenangnya. Akhirnya, Intan berkolaborasi dengan desainer Didiet Maulana untuk mendaur-ulang semua limbah fashion tersebut. Kejadian ini menjadi pencetus berdirinya Setali yang hingga kini konsisten di bidang sustainable fashion.


Uniknya, Intan menganalogikan brand miliknya sebagai koperasi di mana ia bekerja sama dengan para recycling artist untuk mempromosikan hasil upcycle yang menarik lalu menjualnya lagi bagi konsumen. “Kita ingin memberikan alternatif pada pencinta fashion untuk bisa memberikan dampak yang lebih positif bagi lingkungan,” lanjutnya. Kini, Setali juga bekerja sama dengan Rekosistem, sebagai penyedia wadah limbah fashion dari konsumen


Lintang Kusuma Pratiwi, 25

Co-Founder Elevarm



OLEH VANESSA MASLI. FOTO: DOK. HER WORLD INDONESIA


Agen perubahan adalah cita-citanya. Biologi adalah pelajaran favoritnya dan ketika Lintang menyadari banyaknya lubang masalah di industri pertanian Tanah Air, ia pun memantapkan hati untuk mendalami bidang tersebut. Dengan kesadaran akan potensi tanah Indonesia yang tidak selaras dengan produktivitas dan kesejahteraan para petaninya, Tak hanya menekuni bidang Teknik Pertanian semasa kuliah, ia juga fokus meniti karier dalam bidang tersebut.


Sebuah agriculture start-up company bernama Elevarm didirikan Lintang bersama rekannya, Febi, demi adanya perubahan di industri pertanian. Bukan hanya menyejahterakan petani tetapi juga meningkatkan produktivitas industri ini sebagai solusi berkelanjutan. “Untuk membangun sebuah solusi yang berkelanjutan, saya memiliki pandangan bahwa harus ada proses yang berkelanjutan juga,” jelas Lintang.


Selama berbisnis, Lintang belajar tentang konsep meyakinkan, khususnya terhadap empat pihak. Mulai dari diri sendiri, membangun keyakinan bahwa Lintang dapat merintis bisnis ini dalam jangka panjang dan terus mengembangkannya. Lalu, meyakinkan tiap-tiap anggota tim untuk terus menjalani perannya masing-masing dalam perusahaan.


Setelah menguatkan dan meyakinkan internal perusahaan, Lintang pun terus struggling untuk menyakinkan pihak-pihak eksternal. Mulai dari para petani sebagai konsumen yang berusaha diperkenalkan dengan layanan dan konsep baru yang ditawarkan Elevarm, hingga para investor untuk bisa percaya serta tumbuh bersama Elevarm.


Aplikasi Dr. Tania menjadi salah satu inovasi Elevarm yang berusaha memberikan wadah bagi para petani untuk temukan solusi di lahan pertaniannya. Berawal dari kesulitan petani mengetahui jenis obat yang bisa sembuhkan penyakit tanaman tertentu, Dr. Tania menjadi penghubung antara para petani dengan agronomis sehingga solusi dapat tercapai.


Sejak dirilis secara resmi pada 2018, Dr. Tania sudah menjadi all-in-platform bagi semua aspek pertanian, mulai dari konsultasi hingga tracking mitra dan telah digunakan oleh lebih dari 3000 petani di Indonesia. Bagi Lintang, perlu adanya praktik-praktik pertanian yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan lingkungan sekitar. Nantinya, Lintang ingin Elevarm bisa digunakan oleh banyak petani, mulai dari wilayah Jawa Barat hingga seluruh Indonesia, menghadirkan farming atau budidaya sebagai jasa untuk tingkatkan produktivitas pertanian.


Martcellia Liunic, 33

Illustrator & Founder Liunic on Things



OLEH HAURA SALSABILA. FOTO: DOK. PRIBADI


Berawal dari cita-cita yang dimiliki, Martcellia Liunic memutuskan untuk beralih profesi menjadi seorang ilustrator. Hal tersebut bermula pada tahun 2016, perempuan yang akrab disapa Cella ini mendapati penurunan motivasi dalam menekuni pekerjaannya sebagai Art Director di salah satu perusahaan periklanan yang ada di Jakarta.


Alih-alih menekuni pekerjaan utamanya, ia justru ingin sekali membuat sebuah ilustrasi secara rutin. Untuk menyalurkan keinginannya tersebut, Cella mulai mencoba memasarkan berbagai produk yang terdapat ilustrasi buatannya. Tidak disangka, produk yang dipasarkan laku keras. Sejak itu, Cella memutuskan untuk beralih profesi sebagai seorang ilustrator.


Ia bersama dua orang lainnya, yaitu Tasya dan Owie memutuskan untuk membangun sebuah brand, Liunic On Things. Hingga kini Liunic On Things sudah melakukan kolaborasi dengan berbagai merek ternama seperti Google, Netflix, Youtube, Samsung, Snapchat, Harper’s Bazaar, Aqua, Rexona, H&M, Casetify, dan lainnya.


Sebagai seorang ilustrator, tentunya Cella pernah mengalami fase artistic block. Ketika mengalami fase itu, ia akan mengatasinya dengan cara mengambil istirahat sejenak. Bahkan ia bisa berhenti membuat ilustrasi dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal tersebut dilakukannya agar bisa kembali dengan ragam ide kreatif lainnya.


Cella juga sangat mengapresiasi berbagai support dari para penggemarnya. Ia menganggap hal tersebut sebagai suntikan tenaga baginya untuk dapat konsisten dalam berkarya. Cella percaya bahwa tingkat konsistensi menjasi salah satu faktor yang mendukungnya untuk tetap bertahan dan terus berkarya hingga saat ini. Sebagai seorang ilustrator, Cella berharap dunia ilustrasi di Indonesia dapat semakin maju seiring berkembangnya zaman.


Yura Yunita, 31

Penyanyi



OLEH VANESSA MASLI. FOTO: DOK. HER WORLD INDONESIA


Yura Yunita, seorang penyanyi yang hampir tidak pernah menunjukkan ekspresi berbeda selain tersenyum lebar di hadapan banyak orang, rupanya tengah berada dalam perjalanan untuk kembali mengenali diri. Perjalanan yang amat personal ini kemudian menghadirkan album berisikan 11 lagu yang bertajuk Tutur Batin, rilis pada 2021 lalu.


Hampir satu tahun sejak perilisan, dengan berbagai karya visual mendampingi tiap-tiap lagu hingga ragam panggung yang ia datangi, perjalanan healing seorang Yura Yunita pun temukan jalan yang berbeda. Dengan membawakan tiap-tiap lagu dari album ketiganya, melihat banyak hati yang tersentuh, Yura pun mendapati bahwa perjalanan ini tidak ia lakukan seorang diri dan ada yang mengerti tutur batinnya.


Sebuah retreat yang ia jalani selama 14 hari, ditemani keheningan, rasa untuk memaafkan segala luka dan kejadian pahit di masa lalu mengisi hati serta pikiran Yura. Berawal dari keinginan untuk temukan solusi hormonal imbalance-nya, Yura justru kembali menemukan lapisan baru dalam dirinya hingga jadi inspirasi untuk lantunan nada yang ia nyanyikan.


Apa yang ia lakukan hingga saat ini, bermusik, menulis, dan bernyanyi menjadi safe space seorang Yura untuk mengungkapkan perasaannya, termasuk dalam album Tutur Batin. Lalu, ketika ia bisa membawakan lagu-lagu tersebut di setiap panggung yang dihadirinya, Yura merasa bahwa perasaan yang ia suarakan bisa dimengerti. “Saya merasa dimengerti, saya merasa tidak sendiri,” ungkap Yura Yunita.


Niniek Febriany, 33

Founder of Book for Mountain



OLEH NATASHA FITRANDA PUTRI. FOTO: DOK. HER WORLD INDONESIA


Umumnya kegiatan KKN memiliki rentang waktu sekitar satu-tiga bulan saja. Namun, hal ini berbeda bagi Niniek Febriany, lulusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada yang hingga saat ini masih menjalankan kegiatan KKN semasa kuliahnya sebagai pekerjaan kedua.


Berawal dari program KKN di kaki Gunung Rinjani, NTB pada tahun 2010, Niniek dan rekannya sempat menghadapi penolakan dari warga desa untuk membangun reservoir air. Ia pun mencari alternatif kegiatan lain. Selain air, masalah utama yang ada di desa adalah pendidikan yang belum memadai, terutama kurangnya kebiasaan membaca bagi anak-anak dan para pemudanya.


Fenomena ini banyak ditemukan di berbagai desa pelosok di Indonesia. Hal inilah yang kemudian menjadi motivasi Niniek untuk mendirikan komunitas Book for Mountain, yang kini telah berdiri sebagai bentuk yayasan, dengan tujuan untuk menyebarkan buku-buku pelajaran dan cerita menarik yang bermanfaat bagi anak-anak di bangku SD hingga SMA di berbagai pelosok desa. Book for Mountain juga berdiri sebagai bentuk wadah yang mempertemukan para pecinta buku dan relawan sosial yang ingin memberdayakan perpustakaan di desa.


Setelah berhasil memberdayakan sebanyak 44 perpustakaan di seluruh Indonesia, saat ini Niniek Febriany bersama dengan Book for Mountain sedang mempriotitaskan dua program utama yaitu Youth Camp dan membuat buku cerita kontekstual. Program ini mengajak para pemuda dan pemudi untuk mendokumentasikan keseharian atau kisah menarik selama di desa, yang kemudian hal ini akan menjadi materi buku cerita kontekstual.


Keinginan ini berawal dari banyaknya buku sumbangan warga kota yang dinilai kurang relevan karena terlalu modern dan tidak sesuai dengan kehidupan anak desa. Sampai saat ini, Book for Mountain berhasil menjalankan Youth Camp pertamanya di Bowongso, Wonosobo, dan telah menciptakan sebanyak sembilan buku cerita kontekstual yang kini telah tersebar ke 600 perpustakaan di seluruh Indonesia.


Niniek percaya bahwa nature seorang anak memang akan selalu tertarik dengan buku cerita. Ini menjadi alasannya terus bekerja untuk mencapai desa-desa pelosok di Indonesia dan menyebarkan buku cerita berkualitas agar minat membaca anak bisa meningkat.


Women Of The Year