Women Of The Year

Apresiasi Her World Pada Women of The Year 2020

By : Zamira Mahardini - 2020-11-12 15:00:01 Apresiasi Her World Pada Women of The Year 2020

Denica Flesch

Founder SukkhaCitta



OLEH AURELIA GRACIA FOTO DOK. PRIBADI


Memiliki keinginan untuk memahami membuat Denica Flesch melakukan perjalanan sekaligus penelitian demi melihat faktor penyebab kemiskinan yang dihadapi sebagian masyarakat. Ia menyadari adanya hubungan yang terputus antara pelanggan dengan cara pembuatan pakaiannya. Oleh karena itu, Denica menghadirkan SukkhaCitta sebagai bentuk ajakan kepada para pelanggan untuk ikut mengambil bagian dalam menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan.

Tidak memiliki latar belakang untuk merintis sebuah lifestyle brand, Denica melawan rasa takut dan keraguannya untuk memulai SukkhaCitta dengan melakukan pelatihan, memberikan upah layak dan pendidikan, hingga akhirnya dapat membangun 1.282 kehidupan pedesaan di Indonesia.

Bukan sekadar mendirikan bisnis pakaian yang terbuat dari kerajinan tangan, wanita yang merupakan alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam ini mendirikan SukkhaCitta dengan tujuan untuk mengakhiri eksploitasi perempuan yang bekerja sebagai pembuat pakaian. Di tengah pandemi, ibu-ibu yang berperan sebagai pengrajin pun menjadi satu-satunya pencari nafkah bagi keluarga mereka. Selama masa sulit ini juga, SukkhaCitta berhasil tetap mempekerjakan 352 pengrajin dan petani dengan bayaran penuh.

Setelah tiga tahun berjalan, Denica menyadari bahwa pendidikan merupakan kunci perubahan jangka panjang. Hal ini yang menjadi alasan mengapa timnya menginvestasikan 100% keuntungannya untuk membangun Rumah SukkhaCitta di tiga desanya. Sekolah kerajinan pertama di Indonesia itu dijadikannya sebagai jembatan pendidikan untuk para perempuan muda di pedesaan di Indonesia. Tindakan yang dilakukannya juga menginspirasi para perempuan di desa pertama mereka untuk meningkatkan pendidikan anak-anak di desanya melalui beasiswa.

Bagi Denica, itulah inti dari pemberdayaan; ketika mereka merasa dapat mengubah hidupnya sendiri dan mengambil langkah aktif untuk menjadi agen perubahan di komunitasnya.



Maurilla Sophianti Imron

Co-Founder Zero Waste Indonesia



OLEH KIKI RIAMA PRISKILA FOTO DOK. PRIBADI


Kilas balik pada 2017, kala itu Maurilla atau akrab disapa Mauril yang sedang berada di Belanda, menonton sebuah video viral di mana seorang diver menunjukkan pemandangan bawah laut Nusa Penida yang penuh dengan sampah plastik. “Pemandangan yang harusnya indah dengan biota laut tertutup dengan kemasan plastik yang kita konsumsi sehari-hari. Bahkan ikan-ikan itu mengonsumsi plastik yang tidak bisa terurai,” kenangnya. Saat itu pula, ia mendapati bahwa Indonesia menjadi negara terbesar kedua yang menyumbang sampah. Mauril sadar bahwa ia harus segera melakukan perubahan dan memutuskan untuk kembali ke tanah air.

Saat belajar lebih dalam, ia menemukan konsep bernama zero waste, yakni sebuah gaya hidup minim sampah. Namun, karena minimnya platform yang membahas mengenai hal itu, Mauril kesulitan untuk mencari lebih banyak informasi. “Saya pun berpikir untuk membuat sebuah one-stop solution platform berbasis online, agar orang-orang seperti saya bisa punya wadah yang tepat,” jelasnya. Pada 2018, Zero Waste Indonesia pun berdiri.

Bagi Mauril, sampah bukan hanya soal plastik. Maka, setiap tahunnya Zero Waste selalu mengangkat kampanye dengan topik beragam. Mulai dari penggunaan plastik sekali pakai pada 2018, limbah pakaian pada 2019, hingga food waste pada 2020. Memiliki slogan “Sustainability starts with you”, Zero Waste sendiri tak hanya mengedukasi atau menjadi support system saja, tapi juga memberikan alternatif produk ramah lingkungan sekaligus berkolaborasi dengan komunitas lain agar bisa melakukan perubahan bersama. Kini, Zero Waste Indonesia memiliki 111 ribu pengikut di Instagram.

Saat pandemi, di mana semua orang mengedepankan higienitas dengan kembali menggunakan plastik sekali pakai, Mauril mengaku ada tantangan baru yang harus disiasati. Namun, ia yakin bahwa lewat edukasi yang tepat, masyarakat bisa menemukan alternatif yang ramah lingkungan dari produk-produk tersebut. 

Dalam setiap gerakan minim sampah yang diusungnya, Mauril juga percaya bahwa perempuan memiliki peran besar. “Ibu rumah tangga merupakan kunci dalam keluarga. Karena banyak keputusan yang dibuat dan banyak tanggung jawab yang dilakukan,” ujarnya. Ibu satu anak ini juga berharap bahwa semakin banyak masyarakat sadar akan konsekuensi yang mereka buat. “Bukan hanya bicara soal minim sampah tapi juga soal conscious-living. Kita punya kontrol besar sebagai konsumen dan individu. Kita bisa melakukan perubahan baik satu demi satu,” tutupnya. 



dr. Debryna Dewi

Dokter Relawan COVID-19, Influencer, Anggota Tim INASAR (Indonesia Search & Rescue)



OLEH SHANTICA WARMAN FOTO DOK. MRA MEDIA


Selama pandemi, dr. Debryna Dewi (28) mengabdikan dirinya sebagai salah satu tenaga kesehatan yang bertugas di garda depan. Saat Wisma Atlet baru terbentuk, Debryna menjadi rombongan relawan pertama yang bertugas di sana. Ia kerap membagikan cerita kesehariannya dalam menjalankan tugas lewat Instagram Story. Jelas sekali ia ingin sebanyak mungkin masyarakat tahu sekaligus mengerti situasi seperti apa yang tengah dihadapi bersama. Terkungkung Alat Pelindung Diri selama 10 jam, tidak ketemu teman dan keluarga selama 14 hari (plus 14 hari masa karantina sehabis bertugas) tidak membuatnya gentar. 

September lalu, ia memutuskan untuk istirahat sementara dari pergulatan merawat pasien terinfeksi COVID-19. “Saya merasa sudah di ambang batas pertahanan mental,” jelasnya. Menjadi relawan di masa pandemi ini diakuinya sangat jauh dari nyaman. Ingin tahu apa yang dimaksud Debryna sebagai ‘comfort zone’? “Saya biasa mempraktekkan jungle medicine di area bencana yang kelihatan, seperti banjir, gempa, tsunami, gedung runtuh. Memang ini juga bencana, tapi beda dengan yang biasa saya hadapi.”

Sebelum bergabung sebagai relawan Covid-19, Debryna adalah anggota Tim BASARNAS/INASAR yang sering ditugaskan dalam mengatasi bencana alam di Indonesia. Ia juga sempat bergabung dalam Doctor Share yang menjangkau pasien di pelosok pulau terpencil. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranata Bandung ini juga sempat mengambil program studi Emergency Medicine di University of California Los Angeles, Amerika Serikat.

Apa yang paling ingin dilakukan saat pandemi usai? Ia menjawab dengan cepat: “Diving!“ Pehobi traveling yang juga gemar baking ini merindukan pergi menyelam dan meneruskan kursus technical diving nya yang tertunda. “Satu lagi, kalau COVID-19 sudah ngga ada dan kita sudah tidak perlu lagi social distancing I’m gonna hug all of my friends. I’m gonna do that!”

“Untuk perempuan Indonesia, be strong. Sebenarnya bukan waktunya lagi nunjukin bahwa kita kuat. Sudah terbukti perempuan itu jauh lebih capable dari apa yang kita pikirkan. Perempuan banyak strength nya dibandingkan laki-laki dan tidak bisa diremehkan. Just be brave to show your strength, have no fear to show how powerful you are. Apapun strength atau power-nya. Karena kindess juga one of the most powerful strength in the world.”



Dewi Nur Aisyah, SKM, MSc, PhD, DIC 

Ahli Epidemiologi & Informatika 



OLEH SHANTICA WARMAN FOTO DOK. MRA MEDIA


Saat pandemi terjadi, Dewi Nur Aisyah diminta untuk menjadi Ketua Bidang Data dan Informasi Teknologi dalam Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. “Tugas utama saya adalah membantu percepatan pencatatan dan pelaporan data yang bersifat interoperable lintas institusi dan lintas sektor, mengembangkan sebuah sistem informasi terintegrasi yang merupakan satu data COVID-19 nasional.” Dari tangan Dewi lah data untuk menentukan evidence-based policy dihasilkan. Ia juga bertanggung jawab memberikan alert jika terjadi peningkatan yang signifikan di suatu daerah dan menganalisa klaster-klaster COVID-19 yang muncul.

Ibu dua anak ini mempelajari epidemiologi sejak duduk di bangku kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. “Secara sederhana, epidemiologi merupakan kunci penting untuk memahami penyebaran penyakit serta menciptakan kesehatan pada masyarakat luas.”

Setelah menuntaskan S1, ia semakin tertarik dengan epidemiologi dan mengambil jurusan yang lebih spesifik lagi yaitu Modern Epidemiology pada saat S2 di Imperial College London dan Infectious Disease Epidemiology and Informatics pada saat S3 di University College London. 

Pengalaman penelitian Dewi membuat nya banyak berinteraksi dengan peneliti-peneliti internasional dalam lingkup Asia Tenggara dan Eropa. “Teringat betul, sebuah projek riset di bidang Influenza yang saat itu sedang booming dikarenakan munculnya wabah flu burung dan flu babi, membuat saya lebih mantap untuk melanjutkan studi epidemiologi. Di akhir riset ini, ilmu modelling dalam epidemiologi dapat meramalkan seberapa besar kejadian flu burung di masyarakat, jumlah obat-obatan yang diperlukan, pada hari keberapa kapasitas rumah sakit akan penuh, tenaga dokter dan staf pelayanan kesehatan minim, dsb.”

Berbekal ilmu dan pengalaman penelitian yang masif, Dewi pun mengabdikan dirinya untuk Indonesia. “Saya berharap keilmuan yang tengah saya pelajari saat ini sedikit banyak dapat memberikan sumbangsih perubahan kepada Indonesia. Membawa angin sejuk kebermanfaatan demi seluas-luasnya kemaslahatan. Karena bahagia itu, sesederhana bermanfaat bagi sesama, mengangkat derita mereka yang papa, menjawab permasalahan berbekal ilmu yang ditempa. Karena saya percaya, buah karya kitalah yang akan membangun bangsa, menyemai asa, dan menggapai cita.”



Anbita Nadine Siregar, Janice Belinda Widjaja, & Crystal Widjaja.

Founder Generation Girl



OLEH HAFIZAH RANA FOTO DOK. MRA MEDIA


Sama-sama bekerja di dunia start up, buat Janice, Nadine dan Crystal mulai menyadari bahwa kurangnya pemimpin dan peran perempuan di dalam industri ini. Pada 2018, mereka pun menyamakan tujuan dan mulai membentuk Generation Girl sebagai organisasi nirlaba bagi para perempuan muda yang ingin belajar mengenai Science, Technology, Engineering dan Math. “Seperti ajaib! Berawal dari membuat Winter Class pada 2018, kemudian setelahnya semakin berkembang,” jelas Nadine.

Mengambil STEM sebagai fokus utama bertujuan untuk menumbuhkan rasa kepercayaan diri perempuan untuk berkontribusi dalam ranah ini, di mana sebagian besar dipenuhi oleh laki-laki. Sehingga untuk mendukung cita-cita mereka yang ingin bekerja di bidang ini diperlukan komunitas dan mentor. Lewat dua program yang diusung, Holiday Clubs untuk perempuan berusia 12-18 tahun Electives Class untuk 18 ke atas, mereka tak hanya mengajarnya cara menguasai coding sebagai hard skill, tapi juga soft skill di antaranya adalah communication, compassion dan confidence.

Bermula hanya di Jakarta, di era pandemi seperti saat ini, Generation Girl justru mengepakkan sayap mereka lebih luas dalam mengajak perempuan muda dari berbagai wilayah di Indonesia untuk bergabung dan mengikuti workshop yang diberikan, “Karena online, sekarang tidak hanya di Jakarta saja, ada juga yang dari Singapura, Aceh mereka bergabung. Jadi bagaimana cara kita memecahkan masalah dari penghalang yang besar,” ujar Janice. Saat ini Generation Girl telah memiliki lebih dari 16 ribu pengikut di sosial media mereka.

Di samping membantu para perempuan muda menguasai STEM Field, Generation Girl dibentuk sebagai pengembangan karakter untuk menjadi pemimpin di dunia, “Kami ingin mereka merasa diberdayakan untuk membuat pilihan bagi diri mereka sendiri!” tutup Crystal.




Aprishi Allita

Founder Pishi Yoga & Meditation



OLEH HAFIZAH RANA FOTO DOK. MRA MEDIA


Kegigihannya melawan kesedihan karena kehilangan ayah tercinta dan penyakit pada pembuluh darahnya, membawa perempuan kelahiran Jakarta ini menyelami dunia yoga dan meditasi. Jadi salah satu bagian dari proses healing-nya, Pishi pun mengambil training dan membuka Pishi Yoga dan Meditasi. “Karena saya rasa banyak yang merasakan apa yang saya rasakan, terpaksa minum obat, tidak ada jalan keluar, dan kebingungan. Saya ingin membantu banyak orang yang mungkin merasakan apa yang dulu saya rasakan, lewat meditasi dan yoga ini bisa menyembuhkan fisik atau pun pikiran,” jelasnya.

Tak hanya itu, mendirikan Pishi Yoga dan Meditasi merupakan pencapaian konsep Ikigai buat dirinya, di mana perempuan yang gemar karaoke ini menemukan empat hal secara bersamaan yaitu hal yang disukai dan dikuasainya bisa mencukupi kebutuhan hidup sekaligus berdampak positif untuk banyak orang, khususnya di masa pandemi seperti saat ini. Perempuan yang juga pernah jadi aktivis bullying ini mulai menyadari bahwa masa pandemi COVID-19 mengubah hidup masyarakat, terutama dalam kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan fisik dan mental.

Sehingga Pishi bersama timnya bergerak mengadakan meditasi online lewat Peace Sea Podcast dan Instagram Live sebagai salah satu kontribusinya yang menarik perhatian lebih dari dua ribu orang. Bahkan tawaran private class pun melonjak hingga 2021. Pishi Yoga dan Meditasi juga mengadakan charity dengan penjualan T-shirt I Love You yang hasilnya didonasikan untuk korban banjir di Masamba. Tak hanya itu, dengan memakai t-shirt itu juga sebagai bentuk kasih sayang kepada diri sendiri.

Rasa kepedulian yang tinggi telah dimiliki oleh perempuan lulusan Kesejahteraan Sosial di Universitas Indonesia ini sejak dulu, terutama pada kesehatan fisik dan mental para perempuan. Meskipun yoga dan meditasi untuk semua gender, namun menurutnya perempuan lebih mudah membuka hati dan diri terhadap proses healing. 



Happy Salma 

Penggagas Sandiwara Sastra



OLEH SHANTICA WARMAN FOTO DOK. PRIBADI


Nama Happy Salma (40) cukup jadi panutan di kalangan seniman Indonesia. Kiprah terbarunya adalah membuat Sandiwara Sastra, yaitu sebuah alih wahana karya sastra, dari buku menjadi tata suara. Sandiwara Sastra ini ditayangkan lewat podcast Budaya Kita di Spotify. Istimewanya, Sandiwara Sastra diproduksi selama Pandemi. Berkat kepiawaian Happy dan tim, karya sastra yang melibatkan tak kurang dari 27 artis papan atas ini, berhasil luncur awal Juli lalu meskipun diproduksi dengan segala keterbatasan.

Misi dibuatnya produksi ini adalah mengenalkan generasi muda pada karya-kaya sastra pujangga Indonesia. Saat minat baca tidak setinggi generasi sebelumnya, Sandiwara Sastra menjadi alternatif tepat untuk kembali mendekatkan (dan mengenalkan) sastra. Bekerjasama dengan Kementrian Pendidikan & Kebudayaan, Sandiwara Sastra menjadi salah satu materi belajar yang diwajibkan bagi siswa SMA dan mahasiswa. “Saya puas dengan hasilnya secara keseluruhan. Meskipun jika dipikir ulang, selalu saja ada kekurangan yang perlu diperbaiki. Setiap episode selalu kami evaluasi, supaya episode berikutnya lebih baik,” tutur Happy tentang karya terbarunya.

Bersama dua partner, ia juga mengembangkan brand perhiasan, Tulola namanya. Bisnis ini dimulai saat Happy membuat buku biografi tentang Desak Nyoman Suarti. Sang putri, Sri, membantu Happy mengkurasi perhiasan karena di dalam buku tersebut banyak bagian yang menceritakan tentang motif-motif Nusantara dalam perhiasan. Mulai dari situlah Sri dan Happy berpartner mengembangkan Tulola, sebelum Franca Makarim kemudian bergabung untuk memperkuat marketing dan bisnis nya.

“Saya memacu Sri agar lebih percaya diri sebagai seorang designer perhiasan. Yang tidak saja hanya menerima pesanan dari brand-brand asing,” cerita nya. Sejak 2011, Tulola membidik pasar Indonesia. Uniknya, Happy membuat konsep dari sejarah, puisi atau lagu-lagu populer Nusantara, yang kemudian diterjemahkan ke dalam desain perhiasan oleh Sri. Saat ini, Tulola memiliki beberapa butik di Bali maupun di Jakarta.

 Perempuan Indonesia menurut Happy, sebagai takdir saja sudah pasti hebat, karena banyak yang bukan hanya mengurus keluarga dan mencari nafkah, tetapi juga punya tuntutan dari pihak suami, bahkan adat. “Perempuan juga acap dibebankan urusan domestik sepenuhnya.” Jadi sangat penting bagi perempuan untuk saling menguatkan, bukan malah sebaliknya.



Najelaa Shihab

Founder Sekolah Cikal



OLEH KIKI RIAMA PRISKILA FOTO DOK. PRIBADI


Isu pendidikan nyatanya sudah lama dipikirkan oleh sosok Najelaa Shihab. Dirinya melihat cukup banyak masalah di negeri ini yang sebenarnya bisa dicegah lewat pendidikan, seperti intoleransi, tingkat korupsi yang tinggi, hingga lingkungan yang kurang terjaga. Alasan ini yang kemudian menarik Najelaa untuk mendalami ilmu psikologi. Saat berusia 23 tahun, ia pun mendirikan Sekolah Cikal. 

Salah satu prinsip dari Najelaa adalah belajar harusnya terasa menyenangkan dan bermakna. Bagaimana anak bisa ditempatkan sebagai subjek dan bukan sekadar anak kecil yang dicekoki mata pelajaran, sehingga mereka bisa mencari tahu apa ingin diketahui dan cara berkontribusinya. Inilah yang dirasa hilang dari pengalaman belajar-mengajar karena sistem edukasi saat itu lebih menekankan pada hafalan, bukan proses berpikir kritis dan kreatif.

Selain itu, nilai keterbukaan yang dialaminya dalam keluarga juga menjadi salah satu pendorong saat mendirikan Sekolah Cikal. Bagi Najelaa, saat bicara pendidikan, tanggung jawab bukan hanya ada pada lembaga sekolah, melainkan dilakukan secara kolektif. “Orang tua pun perlu belajar karena advokat terbesar bukan sekolah, melainkan bagaimana karakter orang tua di rumah,” ujar Najelaa.

Setelah Sekolah Cikal sukses berdiri tegak, Najelaa mulai membangun komunitas pendidikan lain seperti Inibudi.org, sebuah inisiatif pendidikan yang membuat dan membagikan materi digital berupa video edukasi. Ada pula KeluargaKita, komunitas relawan yang fokus pada prinsip pengasuhan. Pada 2016, Najelaa juga menginisiasi gerakan “Semua Murid Semua Guru” dengan mengajak masyarakat untuk turut memajukan pendidikan di Indonesia, khususnya di daerah pelosok. Najelaa juga membuat terobosan dengan menggagas platform digital, Sekolahmu, sebuah aplikasi blended learning pertama di Indonesia yang menjadi wadah kolaborasi antar sekolah dan korporasi untuk menghadirkan program yang mendukung kompetensi murid.

Selama pandemi, Najelaa tetap aktif menggerakkan roda edukasi dengan melakukan talkshow seputar proses e-learning bagi murid dan orang tua serta pengajar yang harus melakukan virtual learning selama PSBB.




Dwi Sasetyaningtyas

Founder Sustaination



OLEH KIKI RIAMA PRISKILA FOTO DOK. MRA MEDIA



Mengubah gaya hidup konvensional memang bukan pekerjaan mudah. Diperlukan adanya kerja sama kolektif untuk menjadikan negara kita lebih sustainable. Inilah yang telah dilakukan oleh Sustaination sejak 2018. Didirikan oleh Dwi Sasetyaningtyas, akrab disapa Tyas, Sustaination merupakan sebuah social enterprise yang fokus pada knowledge sharing serta penyediaan sustainable local products. “Sustaination ingin memberikan dampak signifikan terhadap sosial dan lingkungan. Maka, sebagian hasil dari setiap penjualan disumbangkan untuk penanaman pohon di Desa Bedono, Demak, Jawa Tengah,” ujar Tyas.

Tak hanya memiliki 59 ribu pengikut di Instagram, kontribusi yang sudah dilakukan oleh Sustaination termasuk besar. Melihat banyaknya penjualan produk kewanitaan seperti reusable menstrual cup and pads, bisa dibilang Sustaination berhasil mencegah 1,2 juta pembalut sekali pakai ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dari program mengompos yang dilakukan sejak Maret 2020 bersama komunitasnya, Sustaination sukses mencegah pengiriman 1 juta kg emisi karbon ke TPA. Dilanjutkan dengan donasi pohon yang telah menanam 4.500 pohon selama 1,5 tahun. Dengan jumlah pohon tersebut, setidaknya 50 ribu kg emisi karbon berhasil diserap.

Hasil signifikan ini tentu memerlukan bantuan dari setiap anggota komunitas dan sosok masyarakat yang peduli akan keadaan bumi di masa depan. Namun, siapa sangka gaya hidup ramah lingkungan ini justru menjadi obat yang menyembuhkan depresi sang pendirinya. Saat itu, Tyas yang baru menyelesaikan kuliah S2 di Belanda, melahirkan anak pertamanya. “Berada jauh dari orang tua dan keluarga serta belum mendapat pekerjaan membuat saya cukup overwhelmed. Saya pun terkena post-partum depression,” kenang Tyas. Namun dirinya berusaha menyalurkan pada hal-hal positif, seperti menulis blog yang sudah lama menjadi hobi.

Saat anak pertamanya lahir, Tyas dan suami memang berkomitmen untuk memperbaiki diri dengan mempraktikkan gaya hidup ramah lingkungan. Pada 2018, Sustaination pun hadir dalam bentuk blog yang menceritakan kisah personal keluarga Tyas dalam menjalankan gaya hidup baru. “Sustaination bukan hanya jadi wadah edukasi, tapi ini menjadi media bagi saya untuk menyembuhkan diri sendiri,” ujarnya.

Kini, Sustaination sedang mengusung program #CeritaKompos, sebuah inisiatif untuk mengajak teman-teman membagikan perjalanan mengomposnya. Bagi Tyas, kompos adalah hal yang sangat penting karena 50% sampah yang mengendap di TPA adalah sampah organik yang jika tidak diolah dengan benar, dapat terurai secara tidak sempurna sehingga menghasilkan emisi karbon berbahaya. “Harapannya, program ini bisa semakin menginspirasi masyarakat Indonesia untuk ikut mengompos,” 

ungkap Tyas.




Ratri Anindyajati

Produser Seni Independen



OLEH AURELIA GRACIA FOTO DOK. MRA MEDIA



Memiliki mimpi untuk berkontribusi dalam memajukan seni pertunjukan di Indonesia membawa Ratri Anindyajati melebarkan sayapnya hingga berprofesi sebagai produser seni independen di Amerika Serikat. Ia telah membantu seniman Tanah Air untuk tampil di luar negeri, seperti Didik Nini Thowok dan Darlene Litaay.

Pandemi ini sempat membuatnya terpuruk akibat berbagai tudingan yang diberikan oleh warganet melalui media sosial karena dirinya dan keluarga menjadi warga Indonesia pertama yang terpapar virus corona. Namun, Ratri bangkit secara perlahan untuk melawan hal negatif yang menimpanya dengan bersikap dan menanamkan pemikiran positif. Ia justru berani mensosialisasikan pentingnya meningkatkan kepedulian terhadap pencegahan virus corona dengan berperan sebagai pembicara melalui media sosial dan media massa.

Alumnus Universitas Padjajaran ini juga aktif membantu penanganan COVID-19 di Indonesia dengan mendonorkan plasma darah yang dapat membantu pemulihan pasien yang terpapar. Selain itu, ia juga mengunggah konten-konten positif di media sosial supaya tetap menginspirasi orang lain di tengah situasi ini.

Sebagai salah satu bentuk dukungan untuk ekosistem seni tari di Indonesia yang juga terdampak pandemi, Ratri menjadi duta program Saweran Online yang diselenggarakan oleh Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta dan bekerja sama dengan Indonesia Dance Network, Yayasan Eksotika Karmawibhangga Indonesia, Kementerian Pendidikan Kebudayan, OVO, dan DOKU. Dalam program tersebut, ia menjembatani seniman dan penonton dengan upaya menjangkau orang-orang untuk memberikan donasi bagi para seniman yang mengunggah karyanya dalam program tersebut. Melalui program tersebut, ia juga berharap agar masyarakat dapat lebih mengenal talenta seni tari dari Indonesia dan menjadi ruang bagi para seniman untuk terus berkarya.


Women Of The Year