Women Of The Year

Her World Women of The Year 2019

By : Zamira Mahardini - 2020-08-18 12:00:02 Her World Women of The Year 2019

Veronika Linardi, Founder & CEO Qerja.com, Jobs.id, dan Karir.com


FOTO HADI CAHYONO PENGARAH GAYA YOLANDA DEAYU TATA RIAS WAJAH @KUNSOOMAKEUPARTIST (0813-3071-6116) TATA RIAS RAMBUT @ERICKLATIEF19 (0878-8955-9629) BUSANA WILSEN WILLIM


Berangkat dari relasi dan kepercayaan yang baik antara teman dan klien, perempuan yang sempat bekerja di CNN New York City sebagai Media Engineer ini akhirnya berhasil membuka situs Qerja.com setelah sukses di perusahaan yang juga dibuatnya sendiri, yaitu Linardi Associate. “Ketika tawaran investasi datang, mereka langsung minta saya untuk bikin digital platform. Karena perusahaan saya berbasis offline dan mereka mau menanamkan modal secara online, jadi kami sepakat untuk merealisasikan ide tersebut pada 2014 dengan saya sebagai CEO dan founder-nya. Ternyata respon masyarakat sangat baik!”. Bisa disebut sebagai pionir platform yang menyuguhkan transparansi pekerjaan mulai dari nominal gaji hingga review perusahaan secara profesional, Qerja.com bermaksud untuk membantu calon pekerja mengambil keputusan terbaik dalam mengidentifikasi, mengetahui jenis karier, perkembangan diri yang ingin dicapai, termasuk memahami budaya kerja, gaji, dan dinamika kerja demi meminimalisir job hopping yang semakin sering dilakukan. Tak hanya itu, situs ini juga ingin berkontribusi dalam meningkatkan taraf hidup pekerja yang telah berpengalaman dalam mencarikan kesempatan yang lebih baik lagi. “Berkarier bukan hanya urusan cari uang, tetapi juga rangkaian proses belajar dan salah satu aspek penting yang mencakup kepuasan diri. Banyak yang sering berganti pekerjaan karena ada rasa tidak puas saat mereka gagal menemukan jati dirinya sebagai seorang profesional di dalam karier pilihannya. Oleh sebab itu kami coba hadir untuk memberi solusi,” jelas Veronica. Kini, platform ini terbukti telah membantu banyak pencari kerja di Nusantara. Bahkan, perempuan yang mengenyam pendidikan S1 di bidang Advertising dan S2 di Management Information System dan Strategic Digital Marketing ini kembali membuka Jobs.id dan Karir.com untuk makin memudahkan masyarakat dalam mencapai target karier yang diinginkan.



Alti Firmanyah, Komikus 


FOTO HADI CAHYONO PENGARAH GAYA RAHMI DAVITA TATA RIAS WAJAH DAN RAMBUT PAC BY MARTHA TILAAR BUSANA WILSEN WILLIM


Punya hobi menggambar sejak kecil nyatanya berhasil mengantarkan perempuan lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini pada salah satu pencapaian terbesarnya yaitu menjadi Line Artist bagi Marvel Comics. Sejauh ini, sudah ada 18 nomor yang ia gambar. Mulai dari seri Star Lord and Kitty Pryde, X-Men ‘92, Gwenpool, Thor vs Hulk, hingga The Unstoppable Wasp, semua dikerjakannya sejak tahun 2015 sesaat setelah talentanya ditemukan oleh C.B. Cebulski yang pada saat itu masih bekerja sebagai Marvel Talent Scout di wilayah Asia Tenggara. Alti yang sedang tergabung dalam studio komik lokal bernama Glitch kebetulan memang sedang membuka booth di ajang Comic Con Jakarta. Di sanalah ia bertemu dengan Cebulski yang tengah mencari bakat baru. Ia pun segera di-email, portofolionya dinyatakan diterima, dan langsung dipasangkan dengan Sam Humphries sebagai penulis cerita. “Jadi prosesnya dimulai sejak skrip datang. Saya nervous luar biasa! Takut kalau gambar saya nantinya tak sebagus komik-komik sebelumnya. Tapi untunglah sang penulis dan editor sangat membantu sehingga semua jadi terasa lebih mudah. Dari sejak tulisan masuk, mengimajinasi adegan, melukis tiap angle, membuat sketsa, menunggu approval, sampai pada tahap menintai (inking), saya dapat waktu sekitar lima minggu per 20 halaman,” kenangnya. Kini, tak ada lagi rasa canggung yang menghantui. Sebab selain namanya dijadikan salah satu karakter dalam seri Future Foundation besutan Marvel Comics, ia pun dipercaya oleh perusahaan komik online milik Amazon bertajuk ComiXology untuk membuat seri Goliath Girls.



Chitra Subijakto, Founder & Creative Director Sejauh Mata Memandang


FOTO HADI CAHYONO PENGARAH GAYA YOLANDA DEAYU BUSANA SEJAUH MATA MEMANDANG


Terinspirasi dari pakaian khas Indonesia seperti kebaya dan baju bodo, Chitra mendirikan Sejauh Mata Memandang, sebuah karya fashion yang timeless dengan harapan untuk bisa diturunkan ke anak-cucu nanti. Setiap desainnya yang unik terinspirasi dari hal-hal kecil di sekitar Chitra, baik dari alam mau pun makanan. “Misalnya seperti koleksi ayam. Kebetulan semua anak di kantor hobi makan bakmi dan mangkuknya lucu, ada gambar ayam dan bunga,” jelas Chitra. Selama membesarkan labelnya, ia mengaku belum pernah merasakan adanya tantangan berarti. “Mungkin masalahnya lebih ke komunikasi, atau cuaca yang berdampak pada proses pewarnaan,” ujar Chitra. Dalam produksi, Sejauh juga sering melibatkan ibu-ibu dari lapas atau rusun. Salah satu yang paling diingat adalah saat ia bekerja dengan ibu-ibu rumah tangga berusia 21-23 tahun yang sudah memiliki 3-5 anak. “Pada pertemuan pertama, mereka tak berani menatap mata saat berbicara. Namun, setelah memiliki keahlian membuat kain, mereka terlihat lebih percaya diri hingga bisa memiliki penghasilan tanpa harus bergantung pada suami,” kenang Chitra. Sebagai label fashion, Sejauh cukup aktif dalam aksi sosial, seperti pameran instalasi “Sejauh Laut Kita” di Senayan City dan Plaza Indonesia. Sebagai pencinta laut, Chitra merasa terpukul akan banyaknya plastik di laut Indonesia. “Mungkin 30 tahun lagi, saya sudah tidak ada. Tapi, betapa egoisnya kita kalau tidak berbuat apa pun untuk generasi masa depan,” ujarnya. Instalasi dibuat dari sampah impor yang dikirim dari Komunitas Ecoton di Surabaya. Botol-botol plastik tersebut kemudian diikat dengan kain Sejauh dan digantung menjadi instalasi cantik yang dikerjakan oleh ibu-ibu di penjara. Bekerja sama dengan beberapa nama besar lainnya, Chitra berharap pameran ini bisa menyebarkan awareness bahwa bumi sedang butuh bantuan. 



Nury Sybli, Penggerak Literasi


FOTO INSAN OBI PENGARAH GAYA YOLANDA DEAYU TATA RIAS WAJAH DAN RAMBUT PAC BY MARTHA TILAAR BUSANA WILSEN WILLIM


Perempuan asal Banten ini berhasil kenalkan aksara dan bawa perubahan besar pada kehidupan masyarakat Baduy. Mulai efektif keluar masuk Kampung Balimbing dan mengajar pada 1999, Nury berlakukan metode pengajaran unik. Tak disangka, respon mereka positif. Berawal dari dua anak hingga tak terhitung jumlahnya, ia bahkan sempat kewalahan karena keingintahuan mereka amat besar. Dengan pencahayaan yang sangat minim, proses belajar mengajar pada malam hari ini nyatanya sangat dinanti. “Sebenarnya, masyarakat Baduy sangat terbuka soal pendidikan. Sebab dalam tradisinya, yang tidak diperbolehkan adalah bersekolah di instansi formal. Bukan belajar dalam arti luas. Jadi ketika meminta ijin mengajar, orang tua mereka dengan senang hati membolehkan. Itu pun setelah beberapa kali bolak-balik ke sana sejak tahun 1997. Kini, beberapa dari mereka malah ada yang sudah bisa menjual hasil tenun via online hingga omzetnya mencapai puluhan juta rupiah,” jelasnya. Sebuah pencapaian luar biasa yang punya dampak positif terhadap masyarakat di daerah sulit akses. “Dulu, saya minta mereka untuk terus berlatih menulis dan membaca buku. Lewat media komik yang ringan, saya harap mereka lebih cepat menangkap. Nyatanya betul. Mereka pintar-pintar! Kini, angkatan pertama yang mengambil alih dan meneruskan sebagai tutor,” akunya. Nury tetap meneruskan perjuangannya dengan mendirikan Rumah Baca Akar yang telah terbangun di sekitar 30 daerah terpencil di seluruh Nusantara.



Wida Winarno, Founder Indonesian Tempe Movement


FOTO HADI CAHYONO PENGARAH GAYA AMALTA R. DYANDRA TATA RIAS WAJAH @RANGGIBEAUTYARTISAN (0813-1981-2310) TATA RIAS RAMBUT @HAIRBYRANGGAYUSUF (0856-807-2548) BUSANA WILSEN WILLIM


Ingin mempromosikan Indonesia lewat makanan membuat Wida, ayahnya, dan anaknya mendirikan Indonesian Tempe Movement, sebuah gerakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan tempe dan khasiatnya. Punya latar belakang di bidang food and bio technology membuat Wida sangat tertarik dengan tempe karena makanan asli Indonesia ini adalah makanan non-daging satu-satunya yang mengandung vitamin B12. Ia pun memulai gerakannya melalui International Conference on Tempe yang diadakan pada 2015 dan dihadiri para scientist dunia. Sering membahas soal tempe, Wida pun tertarik mengajar membuat tempe karena proses ini cukup sulit dan umumnya hanya bisa dilakukan oleh para ibu-ibu di desa dengan keahlian khusus. Akhirnya, Wida membuat workshop perdananya di penjara Cipinang. “Pertama kali mengajar di sana, saya melihat tidak ada ‘cahaya kehidupan’ di mata para napi. Namun seiring waktu, semua itu berubah. Di situ saya sadar, workshop ini bisa memberikan harapan. Setidaknya saat mereka keluar nanti, ada pride dan dignity yang bisa dibawa,” jelas Wida. Ia pun memantapkan hati bahwa movement ini tidak boleh berhenti karena punya power untuk memberikan harapan bagi sesama. Baru-baru ini Wida juga menemukan penelitian bahwa tempe memiliki manfaat untuk kecantikan sehingga bisa dijadikan body and facial scrub dan sudah bekerja sama dengan hotel ternama di Jakarta. Meski terlihat sukses, awalnya ia mengaku sempat dianggap sebelah mata. “Banyak yang bilang kenapa harus tempe? Memangnya tempe bisa dibawa ke mana lagi? Tapi saya percaya bahwa sesuatu yang awalnya diremehkan, lama-lama ia akan membesar dan semakin kuat,” balas Wida. Bicara soal rencana, ia berharap bisa segera membantu menghubungkan para petani kedelai dengan start-up yang dibangunnya untuk membuat chips dari tempe untuk diekspor ke luar negeri.



Andra Alodita, Content Creator


FOTO HADI CAHYONO PENGARAH GAYA AMALTA R. DYANDRA BUSANA WILSEN WILLIM


Berawal dari profesinya sebagai fotografer dan blogger, Andra kini memiliki 252.000 followers di Instagram. Namun, peluang dan networking yang luas ini nyatanya belum bisa mengisi kekosongan hatinya. Andra pun memutuskan untuk membuat konten yang berguna bagi orang banyak, seperti kisahnya sebagai IVF survivor yang sempat dibagikan dulu. “Buat apa saya bahagia tapi saya hanya bisa memberikan sesuatu yang kosong bagi orang lain,” jelasnya. Dikenal oleh orang banyak pun tak lantas membuat hidup Andra selalu mudah. Ia harus siap mendapat kritikan orang tak dikenal. “Untungnya saya sadar bahwa kebahagiaan saya adalah tanggung jawab diri sendiri, bukan suami, anak, apalagi orang lain,” jawabnya saat ditanya cara menghadapi kritikan tersebut. Meski dikenal sebagai sosok positif, Andra mengaku sempat mengalami anxiety parah hingga membutuhkan bantuan terapis. Hasilnya, luar biasa. Kini, ia tengah menggalakkan konsep self-love dalam setiap kontennya karena ia ingin lingkungan di sekitarnya sehat dan bahagia. Bicara soal achievement terbesar, menyembuhkan trauma masa kecil jadi jawaban Andra. “Saya sedang bekerja sama dengan sebuah brand lokal untuk membuat jurnal di mana orang bisa menumpahkan isi hatinya. Sesuatu hal kecil yang simpel tapi bisa berdampak besar,” tutupnya.



Naila Novaranti, Atlet & Instruktur Sky-Diving


FOTO INSAN OBI PENGARAH GAYA YOLANDA DEAYU TATA RIAS WAJAH & RAMBUT @meriklaa (0812-8711-1199) Busana purana


Berawal saat menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahaan parasut Amerika, Naila tertarik untuk mencoba terjun payung atau sky-diving. Tak ada yang menyangka bahwa rasa ingin tahu dan kegigihannya kala itu sukses membawanya ke enam benua di dunia untuk melancarkan aksinya. Kini, ia tengah bersiap untuk terjun di benua Antartika pada akhir tahun ini. Jika misinya ini berhasil, ia akan menjadi orang Indonesia pertama yang sukses menaklukkan tujuh benua. Perempuan yang baru kembali dari aksi terjun di Gunung Everest ini mengaku masih sering merasa takut. Tapi ia mengatasinya dengan berdoa. Masih lekat di ingatannya momen menegangkan saat terjun di Everest. “Parasut saya sempat menguncup selama beberapa detik. Walaupun hanya dalam hitungan detik, rasanya tetap mengerikan,” kenang perempuan berambut panjang ini. Selain beraksi sebagai atlet, Naila juga menjadi instruktur sky-diving di 46 negara di dunia, termasuk militer Indonesia. Sebagai perempuan di dunia yang penuh maskulinitas, Naila mengaku pernah dipandang sebelah mata. “ Tapi, justru itu yang membuat saya ingin melakukan semua ini sungguh-sungguh, bahkan nekat ke Everest. Karena saya ingin jadi yang terbaik,” ujarnya. Lalu, bagaimana persiapan terjun selanjutnya? Ia tersenyum sambil menjawab, “Saya sedang fokus latihan demi menghadapi cuaca dingin. Yang penting jangan sampai mendarat di dekat beruang kutub.”



Hana Madness, Seniman/Visual Artist


FOTO HADI CAHYONO PENGARAH GAYA YOLANDA DEAYU TATA RIAS WAJAH DAN RAMBUT PAC BY MARTHA TILAAR BUSANA WILSEN WILLIM


Divonis memiliki gangguan mental Bipolar tipe 1 pada tahun 2013 dan sempat dinyatakan mengidap Schizophrenia pada masa awal kuliah, nyatanya tak membuat Hana tenggelam oleh stigma. Ia justru berhasil menghantam dan meruntuhkan semua tuduhan ‘gila’ yang pernah dilayangkan pada dirinya bahkan dari keluarganya sendiri. “Hubungan saya dan keluarga tak pernah harmonis akibat kondisi ini. Ibu saya pun kerap abusif karena saya dianggap aib. Akhirnya saya selalu cari pelarian! Mulai dari jarang pulang sampai menyakiti diri sendiri. Tato-tato ini pun kebanyakan dibuat karena saya sangat enjoy dengan rasa sakit dan untuk menutupi bekas-bekas sayatan yang pernah saya toreh. Tapi kini semua berubah. Segala fluktuasi emosi tersebut hampir jarang terjadi sejak rajin menumpahkan energi pada seni. Selain punya caregiver yang mengerti dan mau mendengar semua kegelisahan, rasa percaya diri saya meningkat dan malah ingin melakukan banyak hal untuk orang lain. Di sini, akhirnya saya mengerti bahwa seni yang menyelamatkan saya,” tuturnya. Hana juga baru-baru diundang ke Liverpool, Inggris, dan berkolaborasi dengan institusi yang fokus pada penanganan penyalahgunaan narkoba dan obat-obatan terlarang untuk melakukan pameran di kota St. Helens, selama satu bulan penuh dalam acara bertajuk “Take Over Festival” di mana salah satu isunya adalah kesehatan jiwa. “Saya hadir sebagai seorang penyintas yang mencoba membuka perspektif masyarakat untuk membuang anggapan bahwa gangguan jiwa itu menakutkan lewat gambar-gambar penuh warna. Bahwa pemilik kesehatan jiwa juga harus punya hidup dan masa depan yang ceria, optimis, dan positif,” lanjutnya. Meski belum terbilang sembuh, tapi apa yang Hana rasakan sekarang sangat jauh berbeda. Ia pun sukses menggelar pameran dan diskusi film besutannya, Pasung, yang ditayangkan hingga ke Jepang, Korea, Amerika, dan Australia.



Hannah Al Rashid, Aktris & Penggerak Perubahan


FOTO HADI CAHYONO PENGARAH GAYA YOLANDA DEAYU TATA RIAS WAJAH @KUNSOOMAKEUPARTIST (0813-3071-6116) TATA RIAS RAMBUT @ERICKLATIEF19 (0878-8955-9629) BUSANA JEFFRY TAN


Meski mengaku pengetahuan dan perjuangannya tentang feminisme masih sangat dini dibanding teman-teman aktivis lain, Hannah tetap menjalankan niatnya dengan serius. Panggilan ini pun sudah dirasakannya sejak kecil di mana ia merasa punya ‘a very high sense of awareness’ terhadap ketidakadilan terutama yang berhubungan dengan ketimpangan gender. Menghabiskan masa kecil di Inggris dan kembali ke Indonesia saat mulai dewasa, yang ia temukan justru kasus-kasus pelecehan terhadap perempuan yang jauh lebih parah. Ia bahkan sempat menjadi korban perlakuan kurang menyenangkan di ruang publik sehingga merasa harus melantangkan perlawanan dan ketidaknyamanannya. Keterlibatannya dalam isu ini seperti Social Development Movement bersama UNDP hingga turun ke jalan dalam event Women March dilakukan demi bisa mengubah persepsi mengenai women’s pride. “Isu kekerasan di Indonesia sudah lama dianggap tabu dan aib. Ini yang membuat banyak perempuan dari berbagai kalangan tak berani buka suara. Saya ingin mengubah cara pikir itu supaya bisa sama-sama mencari solusi terbaik,” jelas Hannah. Ia juga melanjutkan bahwa laki-laki dan perempuan harus saling menghargai. Jangan hanya minta untuk dihormati, sebab perempuan pun harus respek pada laki-laki. This is the real definition of equality. Karena kesetaraan adalah hak semua gender meski perempuan memang jauh lebih rentan dan marjinal. “Pesan saya, siapa saja yang mengalami segala bentuk harassment, segera cari support system atau lari ke LSM seperti Hollaback! Jakarta, Lentera Sintas Indonesia, atau Yayasan Pulih yang memang peduli terhadap isu ini,” tutupnya.



Tety Sianipar, Co-Founder & Chief Technology Officer Kerjabilitas.com


FOTO DOK. PRIBADI


Berdiri pada 2014, Kerjabilitas adalah wadah bagi pencari kerja disabilitas. Tety mengaku ide ini justru datang dari Rubby Emir selaku CEO dan keduanya pun memutuskan untuk membangun Kerjabilitas. Ketertarikan Tety pada disabilitas berawal sejak dirinya terlibat dengan program pemberdayaan pada 2012. Kala itu ia bekerja untuk lembaga Amerika di Indonesia yang salah satu kegiatannya adalah bekerja dengan kelompok pemuda inklusif di mana beberapa di antaranya merupakan penyandang disabilitas. Meski memiliki sepupu dengan disabilitas, baginya ini bukan satu-satunya alasan ia mendirikan Kerjabilitas. Ia sadar bahwa disabilitas adalah isu bersama yang harus ditanggung bersama pula. Dalam mengembangkan usahanya, ada banyak tantangan yang dirasakan. Salah satunya datang dari penyedia kerja. “Kebanyakan dari mereka menolak karena merasa tak tahu cara bekerja sama bahkan ada yang meragukan,” lanjut Tety. Ia pun berusaha mencari common ground. “Ada yang dengan pendekatan seperti equal employment act yang biasanya sudah diterapkan di negara maju hingga menceritakan kisah sukses dari para disabilitas yang sudah bekerja di sektor formal,” lanjutnya. Tety sempat merasa ingin menyerah. “Bekerja setiap hari di sektor ini selama lima tahun seolah membuat isu yang ada jadi beban personal. Apalagi sebagai start-up, Kerjabilitas sering tidak mengikuti jam kerja hingga banyak pekerjaan yang dibawa ke rumah,” ungkap Tety. Namun ia berhasil menyiasatinya dengan mencari kesibukan untuk diri sendiri, sesimpel berjalan kaki atau naik sepeda. Kini, perusahaan yang sempat mengikuti program Launchpad Accelerator di Silicon Valley pada 2016 ini tengah bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) di bawah Kementerian Ketenagakerjaan. “Disabilitas adalah isu lintas sektor, semoga kami bisa bekerja sama dengan BLK atau kementerian lain,” tutup Tety.



(OLEH RENGGANIS PARAHITA, KIKI RIAMA PRISKILA)



Women Of The Year