Kalau bicara soal sate, pasti banyak orang yang kenal dengan makanan ini. Bagi beberapa orang Indonesia, sate adalah makanan favorit mereka. Sate biasanya dijual di pinggir jalan dan dibakar langsung, kadang aromanya yang sedap jadi ciri khas mengapa sate begitu dinikmati banyak orang.
Sate biasanya dinikmati langsung atau dengan tambahan berbagai bumbu seperti kacang, kecap manis, atau saus sambal untuk meningkatkan rasa. Makanan khas Indonesia ini umumnya terbuat dari daging yang dipotong kecil-kecil, ditusuk pada tusuk sate, dan kemudian dipanggang atau dibakar hingga matang. Proses pengolahan dan penyajiannya dapat bervariasi di berbagai wilayah di Indonesia, dengan setiap daerah memiliki ciri khas dan resepnya sendiri. Misalnya, di Jawa, sate sering disajikan dengan saus kacang yang kental, sementara di Bali, sate bisa diolah dengan bumbu khas seperti rempah-rempah Bali. Variasi ini mencerminkan kekayaan kuliner dan budaya lokal Indonesia yang beragam.
Sate yang paling sering kita temui biasanya sate ayam, sate sapi, atau sate kambing. Namun, tahukah kamu, kalau ada sate lain yang unik dan anti-mainstream? Simak rangkuman Her World tentang sate-sate unik dari Indonesia!
Makanan khas masyarakat Enrekang, Sulawesi Selatan ini menarik, bentuknya mirip bakso, tetapi disajikan dengan cara ditusuk. Sawalla tidak berasal dari daging hewan, melainkan dari tepung beras ketan yang dilumuri gula aren dan parutan kelapa. Kuliner ini cukup populer karena dikategorikan sebagai jenis kue atau makanan ringan. Bahan utama untuk membuat Sawalla adalah tepung beras ketan, gula aren, dan kelapa parut.
Ya! Kamu tak salah! Sate kelinci adalah salah satu kuliner khas dari Jawa Tengah yang menarik untuk dicoba. Sate ini memiliki kemiripan dengan sate ayam dalam hal penyajian, dihidangkan dengan lontong dan bumbu kacang yang lezat. Namun, perbedaan utama terletak pada tekstur dagingnya. Sate ayam umumnya lebih lembut, sementara daging kelinci memiliki tekstur yang lebih kenyal dan padat, memberikan pengalaman makan yang berbeda.
Sate kelinci adalah makanan khas yang sering ditemukan di daerah Tawangmangu dan Banyumas. Kedua daerah ini dikenal dengan keanekaragaman kuliner tradisional mereka, dan sate kelinci menjadi salah satu sajian yang populer di sana. Kelebihan dari sate kelinci adalah rendahnya kandungan lemak pada daging kelinci, membuatnya menjadi pilihan yang baik bagi mereka yang memiliki masalah kesehatan seperti diabetes.
Kolombi, atau keong sawah, adalah salah satu makanan khas dari Sulawesi Utara yang memiliki keunikan tersendiri dalam cara penyajiannya. Makanan ini sangat menarik karena keong sawah disajikan dengan cara yang mirip dengan sate, yaitu ditusuk pada tusuk sate dan dimasak dengan teknik dibakar. Proses pembuatan kolombi dimulai dengan memisahkan daging keong dari cangkangnya. Setelah daging dikeluarkan, ia direbus hingga matang dan kemudian dibersihkan kembali untuk memastikan tidak ada kotoran yang tersisa.
(Baca juga: Kenali 3 Minuman Alkohol Lokal Khas Indonesia. Penasaran?)
Sate kare cukup unik karena bahannya yang terbuat dari ampas tempe atau ampas tahu. Potongan ampas ini yang kemudian ditusuk seperti sate, lalu dibakar dan dicampur dengan bumbu kacang. Walaupun terbuat dari tempe dan tahu, rasanya tak kalah enak. Yang membuat sate kare populer karena harganya yang cenderung murah.
Sate kali ini mungkin terdengar aneh karena ulat bukanlah bahan makanan yang umum dikonsumsi. Namun, di Papua, sate ulat sagu cukup populer. Sate ulat sagu juga populer di berbagai tempat seperti Karo, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Papua, dan Dayak Kalimantan. Ulat sagu didapatkan dari pohon sagu yang dipotong dan dibiarkan membusuk. Walaupun tampak tidak menjijikkan, makanan ini sebenarnya kaya akan protein dan cocok untuk penderita diabetes. Makanan ini memiliki kandungan serat yang rendah dan dapat dikonsumsi langsung, digoreng, atau dibuat sate.
(Baca juga: 5 Tips Memilih Sepatu Sneakers yang Tepat!)
Itu tadi sate-sate asal Indonesia yang anti-mainstream. Setiap sate pastinya merefleksikan ciri khas lokal. Ada yang ingin kamu coba?
(Penulis: Katarina Dian)