A chat with

A Chat with Pierre Hardy: Cerita Di Balik Desain Sepatu

By : Rahman Indra - 2019-11-19 18:14:00 A Chat with Pierre Hardy: Cerita Di Balik Desain Sepatu


Merayakan 20 tahun sejak peluncuran capsule collection dari label atas namanya sendiri, Pierre Hardy, desainer sepatu asal Prancis hadir di Jakarta. Membawa serta koleksi dalam rentang waktu dua dekade, Pierre juga melakukan meet and greet bersama para penggemar sepatunya di store On Pedder, Plaza Indonesia pada Selasa (12/11).

Tak hanya mendesain untuk labelnya, Pierre Hardy juga adalah seorang desainer sepatu dan aksesoris buat label ternama seperti Christian Dior dan Hermes. Berkiprah sebagai ilustrator dan kemudian desainer sudah dilakoni Pierre Hardy hampir selama tiga dekade. Rancangannya unik dan berkarakter, dari mulai gaya yang minimalis, grafik, geometrik, sneaker hingga artistik.  

Ditemui di Keraton, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu, Pierre menjawab beberapa pertanyaan seputar proses kreatif dan penciptaannya.

(Baca juga: 10 Sepatu Sneakers Modis Untuk Tampil Gaya Tahun Ini)

HW: Bawa berapa item kali ini ke Indonesia?

Pierre Hardy (PH): Sekitar 14 sepatu yang ada di ruangan ini, dan ada juga beberapa pasang di toko. Total sekitar 20-an pasang sepatu. Dari 'Blades' yang saya buat pertama kali untuk label Pierre Hardy 20 tahun lalu, hingga boots dan juga sneakers. 

HW: Apa tantangan terbesar yang dihadapi kala mendesain?

PH: Bikin sesuatu dari scratch, dari awal, dan desain yang berbeda. Membuat model heel dan sol, bukan sesuatu yang sudah ada sebelumnya, tapi bikin sesuatu yang baru. Dari beberapa jenis, sneaker bisa dibilang sangat sangat sulit, tapi saya sangat menikmatinya. Seperti mengawali sebuah pekerjaan yang menarik. 


(Koleksi sepatu sneaker Pierre Hardy. Foto: Dok/rairahmanindra/herworldindonesia) 


HW: Setelah 20 tahun, apa ada yang berubah, misalkan menjadi lebih mudah?

PH: Nggak juga. Ada yang bilang karena makin sering dilakukan, menjadi lebih mudah, tapi sebenarnya nggak juga. Karena dunia berubah. Sistem dunia mode mengalami revolusi, dan saya harus menghadapinya. Makin kompleks. Perubahan sistem komunikasi juga berubah, dari majalah ke internet, dan itu turut mengubah dunia mode. Tantangan besarnya, karena banyak yang berubah begitu juga desain aksesoris, jadi semua berubah. Mempertimbangan beberapa label sepatu atas nama sendiri, hanya sedikit yang bisa bertahan. Ini bisa jadi sebuah tanda. 


HW: Karakteristik dari brand yang dibangun? 

PH: Saya harap bisa berikan sesuatu yang unik sebagai suatu ciri khas. Identitas yang setiap orang cari. Jadi saya selalu cari buat sesuatu yang khas, ini saya, dan yang saya suka jadi orang tahu. 


HW: Apakah pernah berkolaborasi dengan seniman atau lainnya dalam koleksi?

PH: Saya sangat menghargai karya seni, dan para seniman. Setiap karya mereka, buat saya spesial. Oleh karena itu, saya lebih suka mengerjakannya sendiri. Sulit rasanya bersama karena setiap seniman punya akar dan gayanya sendiri. Saya pikir, seni juga ada pasarnya sendiri, misalkan galeri seperti department store sekarang. Adalah dua pasar yang berbeda, jadi saya pikir begitu.  


(Koleksi The Marfa, Pierre Hardy. Foto: Dok/rairahmanindra/herworldindonesia) 


HW: Apa inspirasi dalam desain sepatu pertama kali?

PH: Ketika saya kecil, imej perempuan yang melekat di kepala saya adalah ibu saya. Gambaran akan gaya elegan hadir dan membayang, sehingga terdorong untuk bikin sesuatu. Memori ini yang kemudian ada di kepala saya. Dalam desain, saya membuat sesuatu yang baru, bukan mengulang yang sudah ada. 


HW: Diantara kreasi yang pernah dibikin, mana yang favorit?

PH: Sepatu 'The Blades' masih jadi salah satu favorit. Beberapa desain lain juga, karena bagaimanapun saya yang membuatnya. Kalau yang lain, saya juga suka boots 'The Marfa' yang simple. Dan melihat kembali beberapa archive, desain sepatu dari lima tahun lalu itu menarik.  



(Koleksi sepatu Pierre Hardy. The Oh Roy! Foto: Dok/rairahmanindra/herworldindonesia) 


HW: The Blade, The Sottsass, The Marfa, The Illusion, The Ace, The Oh Roy! Ada cerita di balik nama-nama sepatu yang dikasih?

PH: Ya, ada ceritanya. Jadi, pada awalnya, setiap produksi dikasih nomor. Setelah 4 atau 5 season, nomornya makin lama makin besar seperti 1037, lalu makin kompleks. Untuk memudahkan, saya kasih nama. Ada cerita di balik setiap namanya, tentu. Misalkan 'The Oh Roy', yang merujuk pada inspirasi karya seniman Roy Lichtenstein. Dan seterusnya buat yang lain. 


HW: Ada kisah atau momen menarik hingga kemudian memutuskan terus jadi desainer sepatu? 

PH: Ketika saya sadari begitu desain dari koleksi pertama saya menjadi nyata. Dan itu saya lihat sangat berbeda. Saya jadi seorang yang dapat menuangkan apa yang disukai. Sebuah perubahan besar. Jadi koleksi ini ada keintiman di baliknya, dan selalu begitu.


(Pierre Hardy di On Pedder, Plaza Indonesia. Foto: Dok/PlazaIndonesia)


HW: Bagaimana kamu melihat masa depan desain sepatu ke depan? 

PH: Bagaimanapun, setiap orang akan butuh sepatu untuk berjalan. Tak mungkin tanpa alas kaki. Lalu, sepatu seperti apa yang akan disukai? Materi apa yang akan disukai? Memang, mungkin akan ada revolusi dalam gaya dan desain. Bisa jadi. Kita semua ada di era yang kemajuannya sudah besar, dan keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar, lebih slim, lebih lucu, lebih sporty, lebih stronger, dan lainnya. Sesuatu yang lebih dan lebih. 


Dalam rangka perayaan 20 tahun labelnya, Pierre Hardy melakukan tur di Asia, dengan mengunjungi empat negara pada pertengahan November di Singapura, Jakarta, Hong Kong dan Beijing. Selain menampilkan kembali koleksi kapsul dari perjalanan dua dekade, ia juga bertemu para pencinta sepatu karyanya dalam sesi meet and greet. 

A chat with