Life & health

Apa Itu Ekspektasi? Yuk, Pahami Efek Positif dan Negatifnya

By : Rengganis Parahita - 2021-10-21 22:00:01




Sepanjang hidup di dunia, mulai dari lahir sampai dewasa, sebagai manusia tentu kita tak pernah luput dari apa yang biasa disebut dengan ekspektasi. Berharap dapat susu ketika lapar saat masih bayi, berharap jadi juara kelas saat merasa sudah belajar sangat keras waktu sekolah, atau berharap naik jabatan saat kita yakin bahwa kita sudah memberikan yang terbaik pada pekerjaan kita. Semua hal ini merupakan bentuk ekspektasi positif yang jika benar terjadi, maka tingkat kebahagiaan manusia senantiasa akan bertambah. Namun bagaimana jika kenyataan yang terjadi justru tidak sesuai dengan ekspektasi?

Mengutip dari situs Psychology Today, dikatakan bahwa "human beings have a natural tendency to pin their hopes for happiness on fulfilled expectations. There is nothing wrong with this in and of itself, as long as we have good reasons to believe that fulfilling an expectation will make us happy, and we take the necessary steps toward fulfilling those expectations." . Artinya, merupakan sebuah kewajaran ketika kita punya ekspektasi lebih pada sesuatu.


(Baca Juga: Ini Manfaat Meditasi, Bisa Mengurangi Stres & Kecemasan!)


Selain bisa meningkatkan positivisme dalam diri, ekspektasi juga bisa jadi motivasi yang baik dalam berkehidupan. Namun jika tak sesuai, ada bahaya yang mengintai jika kita tak menyikapinya dengan hati yang lapang. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang wajib kamu ketahui tentang ekspektasi. Bagaimana menaruh harapan pada sesuatu dan bagaimana juga menerima sebuah kenyataan yang berujung pada kekecewaan.


1. Bersumber dari hati


(Semua rasa dan emosi selalu bersumber dari hati. Berhati-hatilah dalam menyikapinya. Foto: Dok. Pexels/Kaboompics)


Mengutip William Shakspeare, "expectation is the root of all heartache", dapat dipahami bahwa sumber utama sakit hati adalah karena adanya sebuah ekspektasi. Hal ini juga lah yang pada akhinya membuat para ahli menyarankan untuk stop menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi pada sesuatu karena hal tersebut akan sangat berpengaruh pada psikologis seseorang. Kejadian ekstremnya, banyak orang yang sampai bunuh diri atau kesehatan jiwanya terganggu akibat akspektasinya tak jadi kenyataan. Ini yang membuat rasa sakit dalam hati jadi begitu besar. Adanya kepercayaan bahwa sesuatu akan terjadi sesuai harapan namun ternyata tidak, tentu akan memberi goncangan batin tersendiri pada mereka yang sudah terlanjur berharap.

Hal ini tentu bersumber dari hati. Karena semua rasa kecewa, sedih, marah, dan bahagia, merupakan bentuk emosi yang keluar dari pintu jiwa. Jika kita gagal menanganinya, maka segala jenis emosi itulah yangjustru akan mengontrol kita dalam segala aspek kehidupan. So, just don't be. Sebab kita lah yang harus mengontrol itu semua termasuk untuk masalah hati yang kecewa.

Dalam sebuah buku, ekspektasi bahkan disebutkan sebagai 'pencuri kebahagiaan'. Ya, 'expectations are the thieves of joy', kata penulis Luke Winter yang menggunakan kalimat tersebut sebagai judul bukunya. Di sana, ia menuliskan bahwa janganlah kita berekspektasi jika tak ingin merasakan kepedihan. Sebab biar bagaimana pun, lebih baik tidak berekspektasi sama sekali jika ingin hidup bahagia, tulisnya.

Ternyata, buku ini menuai cukup banyak kritik karena sebuah ekspektasi dirasa punya nilai baiknya sendiri dan bagaimana sesungguhnya kita takkan pernah bisa mengontrol kehidupan. Seorang blogger bernama Tiffany Eunike nampaknya memberikan pandangan yang to the point mengenai hal ini. Ia menuliskan "Expectation leads to disappointment, if something you believe will happen didn’t happen. Yet it doesn’t bring any joy, if the something you believe will happen happened?—?because you have expected that to happen. But in this universe, human is just a micro-dust. Human doesn’t have any control to anything, even to their own life. There’s a lot factors that contributing in it that only God knows how to control it."

Di sini, hanya Semesta lah yang tahu apakah ekspektasimu bakal berakhir nyata atau tidak. Jadi sesungguhnya jangan pernah takut untuk berekspektasi melainkan takutlah ketika kita belum bisa menerima kekecewaan dengan bijak. Bagaimana caranya? Pelan-pelan belajarlah menata hati untuk bisa dealing with hurt feelings.

2. Selalu ada kemungkinan terburuk dalam tiap kemungkinan baik


(Tak usah terlampau sedih jika kecewa. Tenang saja, lain kali keberuntungan pasti jadi milikmu. Foto: Dok. Pexels/Andrea Piacquadio)


Next, inilah yang harus dipersiapkan secara matang sebelum kamu berani menaruh ekspektasi besar terhadap seseorang atau sesuatu. Bersiaplah untuk yang terburuk sembari menunggu sesuatu yang baik. Kenapa demikian? Karena biar bagaimana pun kemungkinan buruk akan selalu ada dalam kehidupanmu. Tak selamanya hal baik menghampiri dan tak selamanya hidup ini selalu penuh dengan hal buruk.

Segalanya datang silih berganti tanpa kita ketahui kapan dan yang mana yang akan mampir ke diri kita lebih dulu. Jadi, meski kekecewaan adalah satu hal wajar yang pasti dialami akan dialami oleh tiap manusia, namun cobalah untuk melihat sebagai sebuah 'rezeki' yang memang belum milik kita. Klise memang, namun kenyataannya memanglah demikian. Bagaimana menerima 'kekalahan' ketika sesungguhnya kita tahu kita bisa 'menang' adalah hal yang perlu coba dipelajari mulai hari ini agar rasa sakit yang ditimbulkan tak sampai membuat kita jadi terlampau sakit.


(Baca Juga: 8 Jenis Teh Herbal Ini Bisa Tenangkan Kamu Dari Rasa Cemas)


3. Jadikan motivasi


(Sesuaikan ekspektasi dengan usaha yang kamu lakukan agar sebanding hasilnya. Foto: Dok. Pexels/Ylanite Koppens)


"To expect is good. It creates a roadmap, an image, a goal to focus on and get that pump in our feet. Visualizing where we want us to be, ideally, is one of the tools to succeed. It’s not the be-all & end-all of all what you can do in life to be successful. To expect is easy, but to reach there is the tricky part. It takes us through all the muck and treachery that is life. There are two ways to be happy: Improve your reality or adjust your expectations" -Biswadeep Mandal

Kutipan di atas bak merampungkan kenyataan bahwa berekspektasi tidaklah pernah salah. Malah sangat baik dilakukan untuk membuat perencanaan, menetapkan tujuan, dan segala hal yang berhubungan dengan kesuksesan. Namun, hal setelahnya yang harus dipersiapkan adalah menaikkan ekspektasi kita selaras dengan realita yang sudah kita bangun dan perbaiki. Jadi, tak ada ekspektasi yang terlalu tinggi. Selama kemampuan dan realitamu dirasa sudah layak untuk mendekati ekspektasi, maka ketika ekspektasi tak sesuai kenyataan, kamu tak terlalu merasa kecewa.


Namun sebaliknya, jika kemampuan dan realitamu belum maksimal, maka jadikanlah hal ini motivasi agar kamu bisa mengembangkan diri jadi lebih baik lagi sehingga ekpektasimu pun ikut meningkat. Jangan sampai ekspektasi kamu terlalu tinggi tapi kenyataan yang ada di lapangan tak sebanding, ya. Sebab nanti kalau tak kesampaian pasti sakit.

4. Belajar menata dan mengenali emosi


(Hanya kamu yang tahu emosimu. Tatalah dengan baik agar kamu bisa lebih mudah menerima kekecewaan di kemudian hari: Foto: Dok. Pexels/Andrea Piacquadio)


Mengutip dari Elizabeth Scott, PhD, ia mengatakan bahwa "Becoming aware of what you are expecting is a great start. Becoming aware of what you "should" be expecting is also a wise idea" . Di sini, bisa dimengerti bahwa hal utama yang harus ditata sebelum berani berekspektasi adalah emosimu sendiri. Karena dengan berbagai kesadaran yang kamu lakukan untuk berekspektasi, kamu seharusnya akan siap menerima segala jenis kabar entah itu baik atau buruk. Jadi ketika kabarnya baik, kamu tak terlalu senang sampai meledak-ledak.

Sedangkan jika kabarnya buruk, kamu juga tak jadi terlalu sedih. Ini yang patut diperhatikan. Bagaimana emosimu bisa di-manage secara sadar agar semua bisa berjalan sesuai rencana dan tak berakhir menyedihkan.

5. Realita VS Angan dan Logika


(Kadang kita hanya perlu belajar untuk lebih realistis. Foto: Dok. Verywell / Kelly Miller)


"Our expectations can create significant stress when they don't match up to reality. Also consider how social media can greatly contribute to this: we compare our own worst moments (those not deemed to be shareable online) to others' best moments, which very often are filtered to seem perfect. We may not even realize this mismatched comparison.". Masih mengutip dari Elizabeth Scott, PhD, ia menyatakan bahwa kini, banyak di antara kita yang menaruh harapan terlalu tinggi karena adanya dorongan dari sosial media. Padahal, untuk membandingkan secara apple-to-apple antara kita dan kehidupan orang lain adalah hal yang tak mungkin. Oleh sebab itu, harusnya stress yang ditimbulkan dari ekspektasi yang diakibatkan oleh 'kecemburuan sosial' akibat apa yang kita lihat di sosial media bisa lebih diminimalisir.


(Baca Juga: Kesepian Salah Satu Penyebab Depresi)


Harus ada pembeda memang antara angan dan realita. jadi kita harus sangat hati-hati dalam memilah hal ini. Jangan sampai terjebak!