Lebih dari sekadar warisan, budaya menjadi pusat cerita bangsa yang menyampaikan nilai dan membangun koneksi dengan sesama. Lewat budaya, kita bisa saling mengenal, memahami perbedaan, bahkan menemukan keselarasan. Konsep budaya yang melekat pada kehidupan bangsa menjadi salah satu cara paling alami dan kuat ketika ingin mempererat hubungan antarnegara. Seni seperti tari dan musik misalnya, bisa jadi bahasa universal yang menyatukan orang-orang dari latar belakang berbeda. Hal inilah yang jadi semangat di balik pertunjukan Bournonville Ballet, sebuah perayaan 75 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Denmark yang dirayakan lewat tarian dan cerita yang harmoni.
Dalam gelaran bertajuk Bournonville Celebration, seluruh penari muda dari Summer Academy Jakarta membuka pentas malam dengan tarian Wednesday School. Dipandu langsung oleh maestro balet tersohor asal Denmark, Frank Andersen dan Eva Kloborg yang terkenal akan dedikasinya dalam melestarikan gaya balet klasik Bournonville. Setiap gerakan yang ditampilkan mencerminkan ciri khas gaya Bournonville yang ringan, naratif, dan mengalir dengan perpaduan footwork cepat dan koordinasi antara bahu, kepala, serta leher (épaulement) yang memberi kesan ringan meski teknisnya kompleks.
(Baca juga: Kolaborasi Coinbase dan Aston Martin Aramco Formula One™)
Di momen puncak acara, ballerina Indonesia Neva Elena tampil memukau bersama Jon Axel Fransson, penari utama dari Royal Danish Ballet, dalam pertunjukan William Tell Pas de Deux. Tarian klasik ini penuh energi dan emosi, menjadi representasi nyata dari balet yang terinspirasi dari opera terkenal karya Rossini. Koreografi balet ini pertama kali dibuat pada tahun 1873. Meski sempat menghilang, pada 1979 William Tell Pas de Deux dihidupkan kembali oleh Frank Andersen bersama Eva Kloborg.Tak sebatas menampilan perutunjukkan balet, acara ini dimeriahkan dengan iringan musik klasik oleh Gitanada String Quartet dan pianis Vincent Wiguna yang membawakan karya klasik Carl Nielsen dan Niels Gade, menambah atmosfer magis pada malam itu.
Puncak acara ditutup dengan penampilan La Sylphide, tarian balet legendaris ciptaan Bournonville, yang membawa penonton mengarungi nuansa mimpi dari masa lalu. Balet ini mengisahkan seorang pria yang terpikat oleh Sylph, makhluk gaib penuh pesona yang hanya bisa dilihat dirinya. Di hari pernikahannya, sang Sylph muncul dan merebut cincin dari tangannya, membuatnya meninggalkan kehidupan nyata demi mengejar sang makhluk ke dalam hutan. Kisah ini mencerminkan kerinduan akan pelarian dari hidup yang rasional menuju dunia penuh emosi dan imajinasi.
Secara esensial, gaya Bournonville fokus pada harmoni antara tubuh dan musik, penggunaan épaulement yang mengekspresikan kelembutan. Kaki yang bergerak cepat, namun tetap tampak ringan tanpa mengeluarkan suara keras menjadi sorotan dari gaya balet ini. Lebih dari sekadar pertunjukkan artistik, pentas balet Bournonville Celebration menjadi simbol hubungan diplomasi yang tidak hanya berbasis politik dan ekonomi, tapi juga menyentuh dimensi paling manusiawi lewat seni. Dengan mempersembahkan Bournonville, gaya balet klasik Denmark yang autentik, Indonesia dan Denmark telah membuktikan kalau diplomasi budaya memungkinkan terjalinnya koneksi emosional antara satu sama lain. Jadi perayaan 75 tahun hubungan ini bukan sekadar peringatan masa lalu, melainkan langkah baru untuk mengukir masa depan melalui seni.
(Penulis: Zahrah Pricila)