Life & health

Remedi Indonesia, Ruang Aman Untuk Korban Kekerasan Seksual

By : Her World Indonesia - 2023-05-09 17:00:02 Remedi Indonesia, Ruang Aman Untuk Korban Kekerasan Seksual

Seiring berjalannya waktu, isu kekerasan seksual masih terus menjadi bahasan karena kerap terjadi dan jumlah kasus terus meningkat di Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Republik Indonesia mencatat ada lebih dari 27.000 kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia.


Tiga kasus teratas di antaranya adalah kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis. Di tahun berjalan 2023, KemenPPPA telah mencatat lebih dari 7.400 kasus kekerasan yang tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki.



(UU TPKS diharap dapat memberi dukungan kepada korban kekerasan seksual untuk memperoleh keadilan. Foto: Dok. Anna Shvets/Pexels)


Sebagai upaya memerangi kekerasan seksual, setelah proses panjang selama 12 tahun, pemerintah akhirnya mengesahkan payung hukum untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual yang tertera pada Undang-Undang No.12 Tahun 2012 Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan Presiden Jokowi pada 9 Mei 2022.


Pemerintah berharap UU ini dapat mengatasi tantangan dan hambatan korban untuk memperoleh keadilan dalam hal penanganan dan pemulihan.


Mengenal Jenis-Jenis Kekerasan Seksual


(Kenali berbagai jenis kekerasan seksual. Foto: Dok. Anete Lusina/Pexels)


Mengacu pada UU TPKS, jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual meliputi pelecehan seksual fisik dan non-fisik, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan dan eksploitasi seksual, perbudakan seksual, hingga kekerasan seksual berbasis elektronik.


Tindak pidana kekerasan seksual lainnya di antaranya perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan, eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi melibatkan anak, pemaksaan pelacuran, perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan dalam lingkup rumah tangga dan sebagainya.


Psikoterapis sekaligus Co-Founder Remedi Indonesia Rishita Dewi mengungkapkan bahwa, “Dengan mengenal jenis-jenis kekerasan seksual, kita dapat mengedukasi dan turut menjaga keluarga dan lingkungan terdekat kita, terutama anak-anak kita. Utamanya dengan kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi melalui sosial media, kita wajib memperkaya pengetahuan kita tentang pelecehan seksual serta kekerasan dalam rumah tangga dan lingkungan kerja, mengapa dapat terjadi, apa dampak fisik dan psikis yang dihadapi korban dan orang yang secara sengaja maupun tak sengaja menyaksikan, dan bagaimana menanganinya. Lebih lagi, kita butuh menumbuhkan rasa menghargai diri dan orang lain, empati, serta kesadaran akan privasi diri dan orang lain.”


(Baca Juga: Kekerasan Seksual Tinggi, Ini Cara Ajarkan Consent Pada Anak)


Tantangan Bagi Korban

Mau bagaimana pun kita tidak tahu bagaimana rasanya berada di posisi korban saat pelecehan terjadi. Ada beberapa tantangan yang korban hadapi yaitu,


1. Tonic Immobility atau freeze


(Tonic Immobility atau freeze keadaan korban lumpuh sementara dan tidak bisa berbicara. Foto: Dok. Anete Lusina/Pexels)


Suatu keadaan lumpuh sementara yang tidak disengaja, bahkan pada beberapa kasus sampai tidak dapat bersuara. Ketika korban sering disalahkan karena tidak melakukan perlawan kepada pelaku saat kejadian, sebenarnya banyak dari mereka yang mengalami tonic immobility.


Rishita menjelaskan, “Konsep ini penting untuk kita pahami agar kita tidak dengan mudah menganggap bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada korban adalah aktivitas seksual ‘suka sama suka’ karena menganggap korban tidak melawan, berteriak, berlari ataupun melaporkan saat kejadian.”


2. Victim blaming


(Victim blaming bisa membuat korban takut untuk melaporkan kejadian kekerasan yang dialami. Foto: Dok. Mikhail Nilov/Pexels)


Suatu kondisi menyalahkan korban karena dianggap memprovokasi atau menyebabkan kekerasan seksual terjadi akibat tindakan, kata-kata, ataupun cara berpakaian yang dianggap “mengundang”. Dampak dari victim blaming bisa membuat korban menyalahkan dirinya sendiri atau self-blaming sehingga berujung enggan melakukan pengaduan kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Jangka panjangnya, dapat berdampak buruk kepada kesehatan mental korban.


3. Tuduhan palsu

Kondisi ketika korban enggan melaporkan bahkan dilaporkan balik oleh pelaku atas tuduhan pencemaran nama baik karena dianggap tidak memiliki cukup bukti.


Persoalan kekerasan seksual, nyatanya tidak hanya terjadi pada wanita, tetapi juga banyak korbannya adalah pria. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Development tahun 2020, ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.


Pada 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.


Waspada dengan Dampak dari Kekerasan Seksual

Situs Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) menyebutkan bahwa pengalaman traumatis pada korban kekerasan seksual dapat memberikan dampak fisik, emosi dan psikologis apabila tidak mendapatkan bantuan dan pendampingan para ahli.



(Ketahui tiga tanda Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Foto: Dok. MART PRODUCTION/Pexels)


Rishta menjelaskan bahwa dampak yang paling umum terjadi adalah depresi karena mengingat kejadian masa lalu. Kemudian, yang paling berat adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Terdapat tiga tanda PTSD.

1. Korban mengalami kilas balik (flash back), berupa mimpi dan timbul pikiran mengganggu.

2. Avoidance, di mana korban menghindari hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman kekerasan seksual sehingga banyak terjadi kasus korban menghindari bersosialisasi karena merasa resah, takut, dan selalu tidak aman.

3. Hyper-arousal, situasi ketika mereka merasa gelisah, sulit tidur, mudah terkejut, hingga emosi yang meledak-ledak. Pada jangka panjang, sangat mungkin korban kehilangan hak untuk hidup dengan aman.


Kemungkinan terburuk yang perlu diwaspadai adalah munculnya keinginan untuk menkhiri hidup atau bahkan melakukan percobaan bunuh diri karena merasa buntu dan ingin mengakhiri penderitaan yang dialaminya. Korban merasa ini menjadi pilihan terbaik karena merasa tidak memiliki bantuan lain.


“Temani dan berikan saran kepada kerabat kita untuk melaporkan dan meminta bantuan kepada para praktisi kesehatan mental bila mereka sudah berbicara tentang keinginan untuk mati, perasaannya hampa, tidak memiliki alasan untuk melanjutkan hidup, merasa sangat malu, merasa terjebak, merasa menjadi beban bagi lingkungannya, selalu cemas, menarik diri dari keluarga dan teman-teman, amarah yang besar, dan gejala berat lainnya,” kata Rishita.


(Baca Juga: Menjaga Kesehatan Mental, Ini Manfaat Self Talk Positif)


Lakukan ini segera!


(Penangan tepat dan cepat untuk korban kekerasan seksual. Foto: Dok. cottonbro studio/Pexels)


Berikut adalah beberapa bentuk penanganan tepat yang dapat membantu memulihkan kondisi korban kekerasan seksual. Diharapkan penanganan ini dilakukan dengan cepat.


1. Pertolongan pertama, korban kekerasan seksual perlu meminta bantuan kepada praktisi kesehatan mental seperti psikolog, psikiater, psikoterapis, dan konselor untuk mengatasi dampaklangsung/tak langsung dari peristiwa traumatis yang dialami korban.

2. Stres, depresi, atau gangguan kecemasan ternyata mungkin saja dialami oleh kamu, yang pernah menyaksikan langsung tindak kekerasan seksual, walaupun kamu bukan korban langsungnya. Jangan abaikan jika kamu merasa kondisi tidak nyaman.

3. Berusaha untuk membuat ruang yang aman dan nyaman bagi kerabat, keluarga, atau pun teman yang menjadi korban kekerasan seksual dengan tidak menghakimi (no-judgement), memahami kondisinya, mendengarkan kesedihannya, dan ajak untuk meminta pertolongan segera.



(Remedi Indonesia mengadakan Meditasi Lepas Stress secara gratis untuk yang membutuhkan. Foto: Dok. Yan Krukau/Pexels)


Maka dari itu, Remedi Indoenesia selalu berupaya untuk mengutamakan ruang aman dan nyaman bagi kamu yang membutuhkan bantuan. Remedi memastikan bahwa memalui fasilitator yang terbagung maupun fasilitas pendukung akan tercipta ruang aman sehingga survivors dapat memroses luka batin dan traumanya. Remedi juga turut berkontribusi pada kesehatan mental dengan mengadakan Meditasi Lepas Stress secara rutin, setiap Selasa pukul 19.00-21.00, terbuka gratis untuk siapa saja yang membutuhkan.


Jangan anggap sepele persoalan kekerasan seksual dan selalu berupaya untuk memberi dukungan, berupa ruang yang aman bagi korban demi mengembalikan semangat dan harapan hidup mereka akan masa depan yang lebih baik.


(Penulis: Nathania Adella Putri)

Life & health