A chat with

Andra Alodita & Hannah Al Rashid Berkarya Dalam Keterbatasan

By : Hafizah Rana Dalilah - 2020-11-10 14:07:00 Andra Alodita & Hannah Al Rashid Berkarya Dalam Keterbatasan


Andra Alodita, 36, dan Hannah Al Rashid, 34, tak membiarkan pandemi membatasi ruang geraknya dalam berkarya. Keduanya memiliki misi untuk terus menyebarkan positivisme bagi sesama perempuan. OLEH AURELIA GRACIA & KIKI RIAMA PRISKILA



(Hannah Al Rashid dan Andra Alodita cover Herworld Indonesia.Foto:Dok/Her World Indonesia)


HANNAH AL RASHID

Hai, Hannah! Selama pandemi, perubahan apa yang paling dirasakan?

Belajar untuk lebih ikhlas dan woles karena biasanya saya seorang control freak. Ini sangat menantang dan sulit tapi saya harus bisa mengubah mindset dan percaya dengan rencana Tuhan. He is the greatest of planners.


Dulu aktif menyuarakan isu perempuan dengan turun ke jalan. Bagaimana Hannah melakukannya sekarang?

Saat ini fokus secara online karena untuk turun ke jalan pun rasanya tidak bertanggung-jawab. Jadi, aktif bikin kampanye dan fundraising secara online.


Kabarnya KDRT juga meningkat tajam sejak PSBB diterapkan.

Di Jakarta sendiri meningkat tiga kali lipat. Kita harus paham situasinya. Korban berada di rumah dengan abuser saja sudah menciptakan kesempatan. Di waktu yang sama, banyak orang di-PHK dan menimbulkan masalah finansial, sehingga segala kemarahan dan frustrasi yang tak bisa tersalurkan itu akhirnya keluar lewat kekerasan. Adanya Covid-19 pun menyebabkan banyak rumah aman pemerintah tutup sehingga sulit untuk menjemput korban dan memberikan bantuan. Inilah kenapa meningkatkan awareness jadi kunci karena dengan edukasi ini, kita bisa menghindari potensi terjadinya kekerasan lebih awal.


"Inilah kenapa meningkatkan awareness jadi kunci karena dengan edukasi ini, kita bisa menghindari potensi terjadinya kekerasan lebih awal."



Anda sering menggunakan media sosial sebagai wadah aspirasi. Apa yang Hannah harapkan?

Ekspektasinya saya bisa meraih lebih banyak orang. Kedua, saya percaya bahwa isu kekerasan di Indonesia bisa selesai asal semua berjalan bergandengan, bukan hanya satu pihak. Ketiga, untuk mendukung organisasi yang sudah berjuang, khususnya dalam hal pemulihan korban.


Hannah enggak takut dengan pihak oposisi? Pasti banyak juga yang tidak suka dengan aksi Anda. 

Saya sangat percaya dengan dialog. Yang ingin saya ciptakan di media sosial adalah ruang jawab. Dengan berdialog, orang yang dari sisi bersebelahan bisa menemukan solusi. Opini kita tidak bulat dan semua manusia pasti bisa berevolusi. Tapi bagaimana kita mau berubah kalau berdialog saja susah? Lagipula, isu yang saya angkat kan soal kekerasan. I cannot be afraid, because being a victim is even scarier.


Pernah dapat ancaman?

Pernah. Saat Women’s March dua tahun lalu, saya dapat banyak ancaman. Foto dan profil saya disebar ke berbagai akun radikal di mana mereka diprovokasi untuk menyerang saya secara online. Ada juga yang berusaha masuk paksa ke akun saya.


Kenapa isu perempuan, misalnya RUU PKS, sangat sulit dibahas bahkan disahkan?

Karena isu ini sudah dipolitisasi oleh pihak tertentu demi keuntungan pribadi. Bukan atas nama perempuan, apalagi para korban. Jika penentu kebijakan hukum di negara ini adalah laki-laki yang tidak paham soal isu gender, patriarki, atau toxic masculinity, bagaimana mereka bisa bikin kebijakan soal itu? Mereka harus bisa mendengarkan para ahli dan korban. Ironisnya, saat semua orang masih sibuk membahas pro dan kontra, para korban masih disiksa. 


Salah satu alasan Anda sangat vokal terhadap isu ini, karena Hannah sendiri pernah jadi korban kekerasan. Sampai tahap mana Anda merasa perjuangan ini sudah cukup?

Mungkin kalau kekerasan sudah tidak ada di dunia, baru bisa dibilang perjuangannya sudah selesai. Tapi sepertinya itu adalah hal mustahil. Namun, dengan disahkannya RUU PKS, itu bisa menjadi achievement luar biasa bagi semua teman-teman aktivis di Indonesia. Setidaknya, tanggung jawab LSM bisa pindah ke negara. Lalu, ada sanksi hukum bagi pelaku. Dengan begitu, berkurang satu lagi alasan bagi korban untuk tidak melapor.


Apa titik terendah Hannah saat menyuarakan aspirasi?

Saat Women’s March itu. Karena untuk pertama kali, saya harus mengalami reaksi seperti itu. Saya sempat berpikir apakah ini akan memengaruhi karier saya? Untungnya sampai saat ini masih baik-baik saja karena saya memang bukan sosok kontroversial. Saya konsisten membahas isu ini, namun mungkin harus lebih pintar dalam beradvokasi. But I won’t be silenced. Pada dasarnya, akan selalu ada up and down dalam setiap hal yang kita lakukan. Kita hanya harus beradaptasi dan belajar dari situ.


Bagaimana dengan istilah “women supporting women”?

It’s a great hashtag for awareness, but the reality is far different from that. I don’t really experience it on myself. Mungkin tidak dilakukan secara sengaja, namun sulit bagi wanita untuk punya kesempatan yang sama, karena dari kecil memang sudah diajarkan untuk kompetitif demi mendapatkan satu spot kosong itu. Tapi sebenarnya kita bisa menciptakan ekosistem ini lewat personal level. Inilah yang saya lakukan dengan inner circle saya. Karena semuanya saling percaya dan saling mengenal, jadi lebih mudah untuk saling menyemangati.


Terakhir, bagaimana perasaan Hannah saat mendapat gelar Women of the Year 2019 dari Her World?

Merasa tidak pantas hahaha… I feel like I haven’t done anything. Tapi tentunya sangat bersyukur. Ini jadi alasan baru untuk terus berjuang.


ANDRA ALODITA


Hai, Andra! Sebagai orang yang aktif, bagaimana Anda beradaptasi dengan situasi yang memaksa untuk beraktivitas di rumah?

Awalnya saya sempat stres banget dan merasa cemas. Selama sebulan pertama saya terpukul karena merasa terkurung, tidak bisa berbuat apapun, dan terpenjara dengan ketakutan sendiri. Tapi, setelah saya banyak belajar, saya selalu ingat kata-kata ini, “If you can’t go outside, go inside.” Lalu di bulan April-Mei, saya mulai ubah mindset. Dengan di rumah aja, saya jadi lebih mengenal diri sendiri dan bisa fokus dengan keluarga.


Apa yang Andra lakukan untuk tetap sehat secara mental selama pandemi?

Setiap pagi saya olahraga, jalan kaki, lalu berjemur di bawah sinar matahari, dan konsumsi makanan yang lebih sehat. Itu untuk fisik yang juga berpengaruh ke mental. Selain itu juga ada beberapa kebiasaan yang sebenarnya sudah dilakukan dari dulu, tapi belum secara rajin, seperti meditasi. Lalu saya juga melakukan journaling setiap hari dengan menulis apa yang dirasakan dan dipikiran. Kemudian, detoks media sosial dan memilih apa yang saya lihat di sana, dan yang nggak kalah penting juga selalu memberi waktu untuk me-time dan self-care. 


Selama pandemi ini, momen apa yang menjadi titik terendah bagi Andra?

Saya sempat memikirkan tindakan yang dapat dilakukan untuk diri sendiri dan lingkungan, situasi itu sempat membuat down karena dicampur rasa takut. Lalu saya sadar kalau di luar sana ada banyak orang yang sedang berjuang. Akhirnya, saya pesan hand sanitizer dalam jumlah banyak dan dibagikan ke mereka yang tidak punya akses untuk memilikinya. Melakukan hal tersebut membuat saya merasa lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain.


Bagaimana cara Andra bisa selalu membagikan hal-hal positif untuk orang lain di media sosial?

Menurut saya, seseorang itu dilahirkan dengan tujuan khusus untuk menjalani misi tertentu. Ini juga merupakan bagian proses untuk mengenal diri sendiri dan prosesnya panjang. Saya juga merasa punya banyak energi cinta kasih yang bisa dibagikan ke orang lain. Meskipun hanya dilakukan melalui media sosial, saya percaya dampaknya pasti tetap bisa dirasakan.


“Meskipun hanya dilakukan melalui media sosial, saya percaya dampaknya pasti tetap bisa dirasakan.“


Andra adalah pribadi yang memiliki tingkat self-love yang tinggi, apa yang dilakukan untuk mencapai hal itu?

Kemauan untuk belajar dan berproses. Kalau ada kesempatan, saya memberanikan diri untuk keluar dari zona nyaman. Sayang sama diri sendiri juga berarti bisa menerima trauma dan masa lalu yang mungkin sulit untuk dilakukan. Setelah bisa menerima itu, saya merasa sangat jatuh cinta dengan diri sendiri, mulai mensyukuri hal-hal yang dimiliki, dan mengakui perasaan yang dirasakan.


Andra mengubah pola makan dan lebih aktif berolahraga. Apa motivasinya?

Tahun lalu, saya dan suami overweight. Sebelumnya, saya merasa baik-baik saja dengan kondisi tubuh dan selalu menerapkan body positivity. Tapi, saya mulai sadar karena merasa mudah lelah. Setelah konsultasi dengan dokter, saya mulai mencari tahu tujuan dari menurunkan berat badan ini apa. Ternyata saya ingin sehat dan jadi the best version of myself. Lalu, dari program 10.000 langkah itu, saya jadi enggak pernah sakit, anxiety sangat berkurang, dan bisa lebih menghargai tubuh. 


Apa yang Andra lakukan untuk mendukung sesama perempuan?

Setiap hari saya mengunggah konten tentang jalan kaki atau makanan sehat di Instagram. Meski sederhana, ini ditujukan untuk mengajak perempuan agar lebih semangat, termotivasi, dan ikut berbagi cerita, apalagi di saat seperti ini banyak yang stres.


Sebagai salah satu sosok di Women of the Year 2019, kesan apa yang Andra miliki?

I am so honored! Saya sempat bertanya-tanya apakah pantas untuk menjadi salah satunya, lalu saya merefleksikan diri karena jika saya ada di sana, artinya saya sudah dipercaya. Tidak lama dari momen itu, saya akhirnya memulai program jalan kaki 10.000 langkah. Penghargaan itu juga menjadi sesuatu yang enggak disangka dan memicu untuk lebih berkarya dan memiliki dampak baik untuk orang lain.


Jika melihat Andra yang sekarang, apa yang ingin dikatakan ke Andra 10 tahun yang lalu?

Saya akan berterima kasih, meminta maaf, dan bersyukur atas apa yang terjadi pada Andra 10 tahun yang lalu. Andra yang saat itu belum mengerti apapun, tapi ia sudah menjalani pahit dan manisnya kehidupan. Tanpanya, saya tidak akan menjadi Andra yang sekarang.

A chat with