Life & health

Mengulik Fakta Draf RKUHP yang Berbahaya #SemuaBisaKena

By : Rahman Indra - 2019-09-26 15:54:00 Mengulik Fakta Draf RKUHP yang Berbahaya #SemuaBisaKena


"Sekarang nih kita nggak bisa cuek-cuek lagi. Karena siapa saja bisa dipenjara. Saya, kamu, keluarga kita, temen-temen kita, gebetan kita. #SEMUABISAKENA. Tandatangani petisi ini dan sebarkan di media sosialmu ya. Kita viralkan hashtag #SemuaBisaKena biar DPR membatalkan RKUHP. Waktu kita nggak banyak."

Demikian penggalan petisi yang dimulai Tunggal Pawestri, konsultan gender dan HAM di situs change.org pada 19 September lalu, dan kemudian mendapat respons besar dari publik. Hingga kini, petisi yang ditujukan pada Komisi III DPR dan Presiden Jokowi itu sudah mencapai 972 ribu orang yang menandatangani. 

Di dalam petisi tersebut, Tunggal juga menguraikan pasal-pasal dalam RKUHP yang dianggap sangat merugikan dan patut ditolak. Beberapa pasal di antaranya tidak menjamin hak korban dan kelompok rentan. Apa saja?

(Baca juga: Mengenal Amanda Nguyen, Nominator Muda Nobel Perdamaian) 

Draf RKUHP yang disetujui panja DPR pada 15 September 2019 dinilai memuat aturan hukum pidana yang tidak tepat karena bisa mempidana semua orang. Berikut beberapa diantaranya: 

1. Korban perkosaan, bakal dipenjara 4 tahun kalau mau gugurin janin hasil perkosaan (Pasal 470 (1).

Di RKUHP, pengecualian untuk dokter yang melakukan aborsi atas dasar indikasi medis dan untuk korban perkosaan itu dimuat di Pasal 472 ayat (3), tapi pengecualian untuk perempuan di Pasal 470 ayat (1) justru tidak dimuat, RKUHP masih memberikan potensi perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi akan dipidana. Katanya mau kodifikasi? Kok pengaturan dokter dikodifikasi, korbannya engga?

2. Perempuan yang kerja dan harus pulang malam, terlunta-lunta di jalanan (bisa dituduh gelandangan) kena denda Rp 1 juta (Pasal 432).

Penerapan Pasal 505 ayat (1) KUHP di direktori putusan Mahkamah Agung di putusan.go.id, “Penggelandangan” sangat karet diterapkan! Termasuk untuk perempuan pekerja, contoh kasusnya dengan Putusan Nomor 422/Pid.C/2018/PN Tlg, perempuan 38 tahun pekerja swasta harus dipidana dengan pidana dengan pidana percobaan kurangan 15 hari, setelah ia “diamankan” polisi pada 28 April 2018 sekitar pukul 22.30 WIB (yes, malam hari) karena dituduh “melakukan pergelandangan”. Belum lagi temuan Komnas Perempuan (2010) dalam Laporan Pemantauan Kondisi Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Provinsi, ada 20 kasus perempuan salah tangkap, dalam 4 kasus perempuan “ditangkap” dan dicurigai karena pada malam hari masih berada di ruang publik yang dianggap memungkinkan terjadi transaksi prostitusi. Bukan tidak mungkin nantinya bisa diproses dengan pasal karet “penggelandangan”.

3. Perempuan cari room-mate beda jenis kelamin untuk menghemat biaya bisa dilaporkan Pak Kepala Desa biar dipenjara 6 bulan (Pasal 419). 

Dengan pasal ini, Kepala Desa bisa saja “memaksa” orang tua ataupun anak perempuan yang mencari room-mate beda jenis kelamin tersebut, secara gitu, Kepala Desa kan juga masuk aparat di tingkat desa. Hanya orang-orang berdaya yang mampu menolak untuk memberikan persetujuan, kalau udah digrebek kepala desa, ada orang-orang lain, seperti yang juga pernah terjadi di Cikupa 2017 lalu, perempuan korban bisa apa, pasti trauma dan malu, padahal cuma mau hemat.

4. Pengamen ganggu ketertiban umum kena denda Rp 1 juta (Pasal 432)

Ada banyak kasus dimana pengamen langsung divonis bersalah dengan Pasal 505 KUHP tentang penggelandangan ini. Salah satunya putusan 71/Pid/C/2008/PN. Kbm di Muaro, Sumatera Selatan. Harusnya kan pasal ini dievaluasi, ya? Apa iya kita mau hukum pengamen? Padahal banyak dari pengamen suaranya bagus, bisa ikut audisi pencarian bakat. 

5. Tukang parkir bisa dituduh gelandangan kena denda Rp 1 juta (Pasal 432)

Tukang parkir juga ada yang kena pasal karet penggelandangan yang sayangnya tidak dievaluasi di RKUHP ini. Putusan Nomor 19/Pid.Tpr/2012/PN Pkl di Pekalongan menghukum seorang tukang parkir dengan pidana percobaan, padahal kan dia lagi cari nafkah, seram kalau hal ini akan terus berlanjut dengan RKUHP, kali ini dengan denda.

6. Gelandangan kena denda Rp 1 juta (Pasal 432)

Penerapan Pasal 505 ayat (1) KUHP di direktori putusan Mahkamah Agung di putusan.go.id “Penggelandangan” sangat karet diterapkan. Mulai dari orang yang ada di jalan begitu aja, tidak punya identitas, orang tidak punya tempat tinggal, dan lain sebagainya bisa dikenakan pasal karet ini. Dalam putusannya pun ngga dimuat apa yang dimaksud “penggelandangan” itu.

7. Disabilitas mental yang ditelantarkan terus harus menggelandang di jalan kena denda Rp 1 juta (Pasal 432)

Penjelasan RKUHP tidak memuat secara jelas apa batasan “penggelandangan” itu. Dalam penerapannya pun, “penggelandangan” didefinisikan macam-macam, bahkan, Putusan Nomor 21/Pid.C/2018/PN Tlg di Tulungagung bahkan memutus penggelandangan dengan perbuatan “mabuk di depan umum”, bukan tidak mungkin teman-teman disabilitas mental justru juga bisa “diamankan” petugas dengan tuduhan menggelandang, kan? Apalagi pun, banyak tindakan represif misalnya Razia teman-teman disabiliitas mental yang justru dilakukan oleh polisi.

8. Jurnalis atau netizen bakal dipenjara 3,5 tahun kalau mengkritik presiden (Pasal 218)

Kemarin sempat terjadi kehebohan pas cover salah satu majalah memuat gambar Presiden yang disandingkan dengan bayangan tokoh “pinokio”. Bahkan sudah ada orang-orang yang bilang itu penghinaan. Coba bayangkan suatu hari nanti Presiden “baper” kemudian laporkan teman-teman pers yang melakukan hal tersebut, serem banget! Ekspresi sah justru dipidana!

9. Orang tua tidak boleh menunjukkan alat kontrasepsi ke anaknya karena bukan "petugas berwenang" dan akan didenda Rp. 1 juta (Pasal 414, 416)

Bunyi Pasal 416 itu: Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414—larangan menunjukkan kontrasepsi ke anak, tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang. Unsur “petugas yang berwenang” itu yang bermasalah, masa orang tua ajarin anaknya harus punya “Surat Tugas” dulu?

10. Anak yang diadukan berzina oleh orang tuanya dipenjara 1 tahun (Pasal 417)

Orang tua bisa melaporkan secara pidana anaknya apabila melakukan zina! Bisa dihukum pidana! Pernikahan seolah sebagai satu-satunya jalan untuk menghindar dari pemidanaan, ini bisa berdampak buruk loh pada upaya mencegah perkawinan anak. Riset Koalisi 18+ pada 2016 menemukan 89% permohonan dispensasi kawin anak dilakukan atas dasar kekhawatiran orang tua, karena tuduhan anaknya sudah “pacaran”. Dengan pasal ini orang tua bisa aja maksa anaknya untuk dikawinkan, kalau ngga bisa dilaporkan ke polisi.

(Tolak KUHP. Foto: Dok/Facebook/TunggalPawestri) 


Di luar pasal-pasal tersebut, RKUHP juga meringankan hukuman untuk para koruptor. Disebutkan hukuman untuk perbuatan memperkaya diri sendiri secara melawan hukum buat koruptor dari tadinya hukuman penjara 4 tahun menjadi lebih ringan yaitu penjara 2 tahun (pasal 604). 

Petisi yang disampaikan Tunggal mendapat perhatian banyak pihak, termasuk aktris Dian Sastrowardoyo yang kemudian juga turut membagikannya di instagram storynya. Dian menunjukkan dukungan akan penolakan draf RKUHP yang dinilai merugikan. 

Aksi turun ke jalan 

Sehari menjelang rapat paripurna DPR untuk pengesahan RKUHP, Senin (23/9), sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menggelar aksi turun ke jalan. Aksi tersebut menjalar di beberapa daerah di Indonesia. Penolakan makin meluas dan besar keesokan harinya. Ribuan mahasiswa berkumpul di depan gedung DPR menolak pengesahan RKUHP. Tidak hanya itu, mereka juga mengusung beberapa tuntutan lainnya yang patut jadi perhatian anggota DPR, diantaranya menolak pengesahan RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan dan RUU Ketenagakerjaan, serta membatalkan UU KPK. 


(Aksi tolak pengesahan RKUHP. Foto: Facebook/TunggalPawestri) 

 

Sebelumnya, Presiden Jokowi pada Jumat (20/9) meminta pengesahan RKUHP ditunda. Ia menilai ada 14 pasal yang harus 14 pasal yang harus dibahas lebih lanjut bersama DPR maupun kalangan masyarakat. Presiden Jokowi menyebut, harus ada komunikasi yang jernih untuk menyikapi belasan pasal itu. Ia bahkan menyebut RKUHP bisa menjadi pekerjaan rumah bagi anggota DPR periode berikutnya.

Sementara, pada Selasa (24/9) siang, DPR kemudian memutuskan menunda pengesahan RKUHP. Bambang Soesatyo, Ketua DPR menambahkan, DPR dan pemerintah juga sepakat pembahasan RUU KUHP baru akan dilaksanakan pada waktu yang belum ditentukan bahkan dilimpahkan kepada anggota DPR periode 2019-2024.

Meski demikian, gelombang aksi turun ke jalan terus berlangsung. Pada Rabu (25/9), giliran pelajar yang berkumpul di depan gedung DPR dan menyuarakan tuntutan serupa. Aksi ini sempat rusuh dan mengakibatkan jatuhnya korban. Draf RKUHP menuai kecaman dan mendapat banyak penolakan. 

Seiring banyaknya aksi turun ke jalan dan masih adanya yang bertanya pasal mana yang bermasalah di RKUHP. Tunggal lewat laman Facebooknya pada Rabu (25/9) kembali membagikan penjelasan lengkap mengenai draf RKUHP tersebut. 

"Banyak yang bertanya, mana ada sih pasal yang kamu tulis itu di RKUHP? Well, silahkan baca ini", tulisnya sembari merujuk pada situs reformasikuhp.org. 

Life & health