Life & health

6 Hal Buruk Yang Mungkin Tak Disadari Saat Bersosial Media

By : Rengganis Parahita - 2020-05-20 12:00:02 6 Hal Buruk Yang Mungkin Tak Disadari Saat Bersosial Media

Selama di rumah saja, entah sudah berapa ribu jam yang kita habiskan untuk bermedia sosial dari sejak awal PSBB sampai sekarang. Entah mengecek berita, melihat Instagram, menonton Youtube, dan lain sebagainya. Ketergantungan baru pun muncul, yaitu adiksi pada koneksi. Saat koneksi lemah, rasa hati langsung gundah. Tapi begitu terasa cepat, maka sepasang mata bak tak kunjung lepas dari layar smartphone atau komputer. 


Mengetahui hal ini, mungkin sebagian besar dari kamu tak sadar bahwa ada beberapa hal yang harusnya bisa dipahami saat membuka media sosial terlalu lama dan terlalu sering. Apa sajakah itu? Berikut 6 di antaranya:


1. Lupa bahwa ada begitu banyak perbedaan


(Ada beragam manusia dan budaya yang tak boleh kita lupakan hanya karena ingin punya pandangan yang sama. Foto: Dok. Pexels.com)


Kadang kita lupa bahwa media sosial membuat segalanya terasa serupa. Padahal, dunia yang begitu luas ini patut diapresiasi perbedaannya. Heterogenitas masyarakat dan budaya seakan-akan tersapu oleh eksistensi berbagai jenis aplikasi dan platform yang seakan menyeragamkan kehidupan.


Norma tiba-tiba harus sama, cara pandang dan berpikir tiap individu dipaksa serupa, dan adat-istiadat asli tak lagi diperhitungkan. Saat satu menganggapnya buruk, kemudian yang lain turut menganggapnya tak baik. Vice versa, saat satu orang menganggapnya baik, seakan-akan para netizen di seluruh muka bumi harus menganggapnya baik juga.


Sebagai contoh, tradisi berburu Paus di masyarakat Lamalera adalah salah satu cara masyarakat setempat bertahan hidup. Cara berburunya pun dilakukan dengan cara memilih buruan. Tidak dihabisi semuanya karena harus sesuai dengan kebutuhan penduduk desa dan tetap bisa memenuhi sumber pangan beberapa tahun ke depan akibat tanah Flores yang begitu kering sehingga tak pernah bisa ditumbuhi tanaman pangan dan menghidupi peternakan.


Namun karena ada seseorang yang mengabadikan momen perburuan tersebut dan mengunggahnya di media sosial dengan caption yang provokatif, dunia jadi gempar dan mendekatkan perilaku tersebut pada mass whale killing yang tak bermartabat. Seluruh pencinta hewan pun mulai mengecam perilaku yang hanya terlihat dalam satu foto tanpa tahu kisah di baliknya dan betapa tradisi tersebut sudah ada dari ratusan tahun lamanya. 


Contoh lainnya adalah saat negara-negara Barat mengeluarkan sejumlah kampanye atas beberapa isu yang mungkin pada dasarnya tidak cocok jika diterapkan di negara kita. Namun karena terlihat dan terdengar 'keren', maka kita mencoba untuk ikut-ikutan padahal mungkin sebenarnya tidak dibutuhkan dan tidak cocok dengan kondisi sosial di Indonesia.


Dua contoh sederhana di atas sepertinya membuat kita lupa bahwa media sosial adalah sarana sekaligus wadah untuk bersosialisasi. Namun belakangan, fungsinya berubah jadi area lalu-lalang berita yang entah benar atau tidak, sampai jadi arena adu pendapat tanpa ruang dan waktu yang seakan membolehkan semua orang bersuara tanpa ingat etika. 


Di sini, semua jadi memusingkan. Karena segala sesuatu seperti bergerak, bercampur, dan teraduk jadi satu dalam layar di genggaman. Dunia yang begitu besar tiba-tiba berubah jadi mini dan hanya sejengkal tatap mata. Kita pun jadi kesulitan untuk mengolahnya dalam kepala. Tak ada lagi luas lautan atau megahnya angkasa yang harus dilewati demi mengetahui apa yang ada dan terjadi di belahan bumi lain. Dengan membuka media sosial, semua imaji lengkap tersedia sampai-sampai rasanya kita terlalu malas untuk mengecek kebenaran informasi sampai mencari tahu kisah di balik sesuatu yang tak bisa hanya diadili lewat sebuah gambar atau sepotong kalimat. 


2. Menyamaratakan nilai


(Nilai baik dan buruk antara satu orang dan orang lainnya tak akan pernah sama. Stop menggurui di media sosial. Foto: Dok. Pexels.com)


Netizen dimanapun berada selalu terkenal akan komentarnya yang tajam bahkan kejam. Tak jarang komentar-komentar nyinyir yang muncul pun kemudian disanggah dan dibalas terus-menerus oleh sejumlah orang yang seringkali berujung pertengkaran. Padahal mereka tak saling mengenal satu sama lain. Apa yang penting untuk dibahas di sini? Bisa dibilang, bahwa sesungguhnya isi kepala dan pemahaman manusia akan sesuatu tidak akan pernah bisa sama.


Di seluruh dunia, kita adalah manusia yang punya latar belakang masing-masing yang mencakup pendidikan, keluarga, lingkungan, dan lain sebagainya. Hal ini lah yang punya peran besar dalam membentuk cara pikir kita sebagai makhluk sosial.


Oleh sebab itu, jika kita atau seseorang menyampaikan pendapatnya di media sosial dan terasa tak bisa diterima oleh satu atau dua orang asing, maka seharusnya pahami saja bahwa kita sama-sama tak saling tahu pribadi masing-masing. Cara kita berlogika jelas berbeda. Sampai di sini, harusnya tak usah lagi ada paksaan untuk menyamakan pendapat karena cara kerja sistem pikir pun sudah lain. Ini yang sering jadi ladang keributan. Masing-masing ingin diakui pendapatnya dan dianggap benar oleh netizen lain yang padahal semuanya ilusi.


Tingkat komunikasi hanya sebatas kata-kata tanpa tahu siapa, apa, dan berapa usia lawan bicaranya. Seakan semua orang harus punya pendapat sama dan seakan pula semua orang harus punya nilai dan norma yang sama. Polisi-polisi medsos pun bertebaran di mana-mana.


Ada posting-an yang dianggap buruk langsung dihujat, padahal mereka tak pernah tahu bahwa apa yang terpampang hanya video sepersekian detik atau menit yang tak bisa sama sekali dipahami secara keseluruhan. Begitu juga dengan gambar. Ada foto yang dianggap 'menyimpang' sedikit langsung jadi viral. Padahal, buruk atau tidaknya sesuatu itu bisa ditentukan dari kacamata siapa? Ini yang sering kita lupa dan bahkan ikut emosi jika membaca atau bahkan mendapat balasan kurang enak dari sesama warganet.


3. Menghakimi

(Menghakimi adalah salah satu tindakan paling buruk terlebih jika dilontarkan oleh anonim. Foto: Dok. Pexels.com)


Berdasarkan poin kedua, hal yang terjadi saat warganet berusaha menyamaratakan nilai adalah dengan melakukan judging pada sesuatu yang mereka lihat. Padahal ini bisa punya efek sangat buruk bagi kesehatan mental orang yang bersangkutan. Menyebut seseorang lainnya dengan hinaan atau sebutan-sebuatn tak mengenakkan tak akan kemudian menjadikan kita seseorang yang lebih baik. Malahan, ada rasa sakit yang mungkin diterima di luar sana yang bahkan kita tak mau peduli.


Ingat apa yang terjadi pada sejumlah figur publik asal Korea yang memutuskan untuk bunuh diri? Semua diakibatkan oleh penghakiman netizen pada dirinya yang mungkin dirasa sudah terlalu banyak hingga tak bisa dihadapi lagi. 


Saat kita pikir kita bisa dan boleh melontarkan kata-kata buruk pada seseorang yang tidak kita kenal, bukan berarti mereka tidak memasukkan apa yang terbaca ke dalam hati dan pikirannya. Bahkan kondisi psikologis seseorang pun tak ada yang bisa tahu selain dirinya sendiri dan orang-orang terdekatnya. Jika ada seseorang yang merasa sangat tersakiti sampai akhirnya menyakiti diri sendiri atas kalimat yang kita buat, apa itu merupakan hal baik untuk dilakukan? Baiknya pikir-pikir dulu sebelum mengetik sesuatu.


4. Terbawa emosi & mudah stress


(Jumlah kasus seseorang depresi akibat media sosial selalu meningkat di seluruh dunia tiap tahunnya. Foto: Dok. Pexels.com)


Sebagai pengguna internet atau media sosial, tak bisa dipungkiri sih kalau kita sering terbawa emosi oleh apa yang kita lihat dan baca. Karena ya seperti yang tadi disebutkan bahwa sebagai jaringan maya yang aksesnya terbuka lebar bagi seluruh penduduk bumi, seluruh informasi bisa dengan sangat mudah digapai oleh para pengguna gadget jenis apa pun. Segala tingkat pendidikan, kelas, dan lain sebagainya masuk dengan menembus ruang dan waktu sehingga siapa saja mungkin tak lagi punya waktu untuk mengolah informasi.


Semua 'ditelan' begitu saja sehingga aksi reaksioner kerap terjadi di kolom-kolom komentar. Padahal, ini seharusnya tidak terjadi. Untuk apa pemahaman pribadi diperdebatkan sampai sebegitunya dengan orang-orang yang anonim atau entah siapa. Untuk apa kita rungsing oleh balasan atau tulisan orang yang sesungguhnya bisa saja tidak kita tanggapi. Kita sendiri pun tanpa disadari terbentuk jadi orang-orang yang emosional di era digital seperti sekarang. Padahal faktanya tidak usah sampai begini. 


Ada waktu yang bisa kita gunakan untuk menelaah sesuatu. Baik atau buruk, benar atau salah, layak atau tidak, asli atau hoax, sampai penting atau tak penting. Semua baiknya dipikirikan sebelum bertindak terutama di masa serba cepat seperti sekarang ini. Bukan berarti melihat sesuatu yang bikin naik darah lalu serta merta kita harus langsung marah. Tidak. Semua ada caranya agar tidak menghabiskan waktu pada hal-hal yang harusnya tidak jadi concern kita. 


Selain itu, emosi di sini juga mencakup seluruh suasana hati. Kadang, jika yang kita lihat tidak sesuai dengan kondisi diri, kita kerap membanding-bandingkan nasib kita dengan orang lain. Ini yang seharusnya dihindari. Sebab biar bagaimana pun, ini sangat berkaitan dengan kesehatan mental yang seharusnya tetap kita jaga selama di rumah saja. Kenapa? Karena selain kesehatan mental adalah salah satu bagian dari penegak sistem imun yang baik, kesehatan mental juga layak dijaga agar kita bisa selalu bersyukur.


Membandingkan adalah hal yang tak akan ada habisnya dan hanya akan membuat kita lupa pada apa yang berharga di sekeliling kita. Don't be a toxic person to our self. Jika kita tahu cara berbahagia dan berterima kasih pada kehidupan, maka semuanya akan terasa baik-baik saja.


5. Melihat segala sesuatunya bisa dicapai dengan instan


(Kini seakan semua terlihat mudah. Padahal kenyataannya tidak demikian. Foto: Dok. Pexels.com)


Ketika segalanya terasa dekat dan begitu cepat, maka ada hal yang seringkali kita lupakan, yaitu proses. Saat semua hal bak bisa didapat dengan instan, maka orang hampir tidak percaya lagi pada 'embel-embel' proses yang seringkali dirasa bertele-tele dan tidak efektif. Padahal, dalam sebuah proses seseorang akan memasok lebih banyak ilmu dari serangkaian kagagalan. Ini yang kemudian tak diindahkan oleh banyak orang yang berpikir seakan-akan melihat segala sesuatu yang ada di media sosial itu bisa didapat secara kilat.


Influencer dianggap bisa jadi kaya dan terkenal karena foto-foto, lalu Youtuber bisa berhasil karena sering bikin konten prank, atau selebgram bisa jadi besar namanya karena bikin postingan viral. Lalu ini semua dilakukan untuk mendapatkan ketenaran yang sama. Padahal kalau boleh dibilang, bukan begitu cara kerjanya. Tak ada yang instan dan tak ada yang boleh meninggalkan proses belajar karena justru dari sinilah nanti kualitas sebuah konten justru dilihat. Bukan pengakuan yang kamu harusnya dikejar melainkan pembuktian atas sesuatu yang positif.


6. Membuat dunia semakin sempit


(Dunia dalam genggaman. Foto: Dok. Pexels.com)


Ada tulisan sangat bagus dari Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang berjudul 'Dunia yang Dilipat'. Di sini ia menuliskan, "Dunia maya adalah sebuah ruang di mana kita akan menyaksikan berbagai panorama realitas & sub-kultur baru yang tercipta akibat pemadatan, pemampatan, peringkasan, pengecilan dan percepatan dunia. Yang kita saksikan adalah sebuah dunia yang dilipat, dunia yang menghadirkan berbagai sisi dunia tampil dengan wajahnya yang baru. Kita diajak bertamasya dalam sebuah dunia teka-teki, penuh misteri, kontradiksi, ilusi, halusinasi, dan simulasi.


Sebuah panorama realitas-realitas kebudayaan baru yang kaya warna, kaya nuansa, kaya tanda, dan kaya citra, yang telah melampaui batas-batas kebudayaan sebelumnya. Batas-batas kebudayaan itu kini seakan telah diruntuhkan oleh kemajuan teknologi, dan kini kita hidup di dalam dunia yang telah kehilangan batas namun justru mempersempit ruang untuk berinteraksi secara fisik."


Dalam bukunya, ia ingin coba menjelaskan bahwa usaha mendekatkan yang jauh menjadi dekat dan yang dekat menjadi jauh pada akhirnya terasa makin effortless tahun demi tahun sampai akhirnya banyak sisi tradisi yang tanpa disadari perlahan hilang. Tergantikan pelan-pelan oleh budaya baru yang kepemilikannya tak lagi merujuk pada satu kelompok masyarakat tertentu melainkan sebuah budaya massa yang nyaris homogen.


Tiap orang dengan mudah saling terinspirasi dan mengikuti satu sama lain. Figur idola baru banyak bermunculan sambil membawa kebiasaan anyar yang berpotensi menginfluensi. Sebuah fenomena yang mungkin pada 10 tahunan yang lalu belum terbayang. Siapa pun bisa menyapa, mengkritik, bahkan menyampaikan kekagumannya langsung pada sang idola tanpa harus menunggu momen meet and greet atau konser berbiaya besar.


"Tidak ada lagi batas antara realitas dan fantasi, antara asli dan tiruan, antara kenyataan dan simulakrum, antara seni dan kitsch, antara normalitas dan abnormalitas, antara feminin dan maskulin. Batas-batas itu kini telah didekonstruksi, menciptakan dunia yang segala hal di dalamnya silang menyilang, tumpang tindih dan campur aduk, di dalam dunia yang seakan-akan telah kehilangan kemampuan kategori, klasifikasi dan taksonomi". 


Dalam paragraf terakhir ini, tulisan Yasraf Amir Piliang seakan makin menjelaskan apa yang kini sedang terjadi. Dunia sedang berada dalam ruang abu-abu di mana tak ada yang hitam apalagi yang putih. Segalanya bertindihan dan berlapis-lapis. Sebagai pengguna internet, terlebih sosial media, kita diharapkan mampu menelaah semuanya agar bisa semakin bijak dalam menggunakan jaringan terbesar di muka bumi bernama World Wide Web. Khususnya di era penuh hoax seperti sekarang di mana fakta terasa makin samar.


So, dari 6 poin di atas, bukan berarti internet tidak punya efek positif bagi para penggunanya. Jelas ada! Banyak bahkan. Hanya saja terkadang kita sering lupa bahwa bisa saja kita mengalami salah satu hal di atas yang sesungguhnya akan membawa pengaruh buruk bagi kita, orang lain, maupun masyarakat dunia pada umumnya. Ketika pemikiran seakan dipakasakan,ekspresi dibatasi, dan hujatan atau komentar-komentar buruk digelontorkan begitu saja lewat aksara, apakah ada efek positif yang muncul? Jelas tidak.


So, don't hurt others with your words cuz you never know how words could really stab someone straight to their fragile soul. Jadilah pegguna internet yang baik dan bertanggungjawab setidaknya untuk diri sendiri terlebih dahulu. Be smart in this age of uncertainty. Karena tak hanya di kehidupan nyata, banyak orang yang merasa gagal survive di ruang media sosial.  


Berikut sebuah video lama yang mungkin bisa mengingatkanmu bahwa interaksi di luar media sosial adalah yang paling nyata dan harus diapresiasi. Enjoy!


Life & health