Life & health

Cerita Garda Depan: Kisah Inspiratif Di Balik Wabah Corona

By : Rengganis Parahita - 2020-04-01 20:48:00 Cerita Garda Depan: Kisah Inspiratif Di Balik Wabah Corona

Bukan hanya sebagai penyakit baru yang tiba-tiba muncul dan langsung mengubah seluruh tatanan kehidupan serta rutinitas manusia secara drastis, Pandemi Covid-19 Novel Coronavirus ini juga memberi begitu banyak pelajaran, tantangan, bahkan cerita yang satu hari nanti bisa jadi sejarah. Wabah era modern yang entah dari mana datangnya namun langsung berhasil mematikan ekonomi dunia dalam waktu tidak lebih dari dua bulan nyatanya adalah satu fenomena luar biasa yang bahkan negara-negara adikuasa pun tunggang-langgang menghadapinya.


Nah, bagaimana dengan Indonesia? Selama hampir satu bulan kita menjalankan karantina mandiri dan kerja di rumah (WFH), nyatanya banyak hal positif nan inspiratif yang terjadi di luar sana. Dekat sekali dengan kita namun tak kita ketahui akibat dominasi "berita horor" yang merajai seluruh media di Nusantara. Punya efek buruk? Jelas. Sebab kita jadi tidak tahu sejumlah kisah menghangatkan hati yang sesungguhnya lebih perlu kita ketahui dibandingkan ulasan-ulasan berbau pesimisme. 


Oleh sebab itu, dalam artikel ini secara eksklusif her world sajikan untuk kamu sebuah kisah manis yang didapat dari seorang relawan luar biasa bernama Bayu Gawtama. Sebagai pendiri dari Sekolah Relawan, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang kemanusiaan dan urusan perencanaan penanggulangan bencana, ia berkisah melalui perbincangan sarat makna sepanjang 30 menit  via telepon. Perbincangan paling bersemangat yang pernah saya dengar selama tiga minggu belakangan. So, here's the story


1. Selalu Siaga

(Pembelanjaan logistik selalu dilakukan untuk membantu sesama. Foto: Dok. Sekolah Relawan)


Begitu Corona terjadi di Wuhan, Bang Gaw (panggilan sehari-hari Bayu Gawtama), langsung menghubungi seluruh tim yang tergabung dalam Sekolah Relawan untuk rapat dalam rangka mencari tahu secara detail mengenai virus ini. Karena sebagian besar anggota tim merupakan kaum milenial yang sangat melek teknologi, maka dengan cepat informasi tentang Covid-19 pun terkumpul. Saat itu, mereka sudah langsung memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika virus ini sampai di Indonesia satu saat nanti. Apa yang harus dilakukan, persiapan apa yang harus dipikirkan, sampai penanggulangan seperti apa yang terbaik untuk diterapkan sudah dipikirkan sejak itu. Jadi setidaknya ketika nanti virus ini betul-betul sampai di sini, mereka sudah paham harus berbuat apa.


Karena lembaga ini juga merupakan lembaga kemanusiaan yang selalu bertindak saat musibah datang, maka stok alat pertolongan dan penyelamatan pun selalu ada. "Waktu Corona masih di Wuhan, saya sudah menyiapkan tim untuk bersiaga. Kami pun sempat mengeluarkan stok coverall untuk dikirim ke sana. Kebetulan begitu saya cek di gudang, stok coverall masih ada sekitar 140 buah sisa dari pas bencana Palu beberapa waktu lalu, maka akhirnya sebanyak 90 buah kami kirimkan untuk untuk tim medis Wuhan lengkap dengan sejumlah masker. Nah, sisanya kami simpan untuk antisipasi kalau-kalau Corona masuk ke Indonesia," ungkapnya. Sekolah Relawan memang selalu punya kontak orang-orang di luar Indonesia untuk urusan pemberian dan penerimaan bantuan.



(Rapat koordinasi, Foto: Dok. Sekolah Relawan)


Oleh sebab itu, ketika pengumuman kasus Corona pertama di Indonesia keluar, mereka sudah tahu harus berbuat apa. "Awal Maret setelah kejadian pertama terkonfirmasi di Depok, saya langsung kumpulkan tim untuk gerak. Karena kebetulan base camp kami juga di Depok, maka hal pertama yang kami lakukan adalah merumuskan hal utama yang bisa segera kami aplikasikan. Memang sih waktu itu belum betul-betul ketemu formatnya. Tapi yang penting kita harus bisa melakukan sesuatu yang sifatnya antisipastif untuk mengurangi dampak bencana. Akhirnya di tanggal 15 Maret 2020, kami mematangkan konsep tersebut. Ternyata, konsep kami sejalan dengan yang disampaikan oleh Ketua BNPB, Doni Monardo. Bahwa penanganan Corona harus dilakukan secara community base. Itulah sebabnya kami akhirnya mendirikan Kampung Siaga Covid-19 sebagai salah satu tindakan penanggulangan paling real yang bisa diaplikasikan di tiap kecamatan," ujarnya.


2. Mendirikan Kampung Siaga Covid-19


(Kampung Siaga Covid-19 siap mengantisipasi Corona. Foto: Dok. Sekolah Relawan)


Bagi Bang Gaw, penanggulangan tanpa edukasi adalah hal yang sia-sia. Sebab jika kita hanya menyarankan warga untuk melakukan ini dan itu tanpa memberitahu risiko sebab-akibatnya, usaha apa pun akan sia-sia. Inilah yang mendasari pembuatan Kampung Siaga Covid-19. Selain digunakan untuk mengorganisir segala kegiatan mengenai "siapa melakukan apa dan siapa berbuat apa" Kampung Siaga Covid-19 juga merealisasikan konsep tindakan berbasis komunitas yang turut dicanangkan oleh ketua BNPB tadi.


"Dengan adanya Kampung Siaga Covid-19 ini, kami harap dampak bencana bisa dikurangi. Jadi sebetulnya konsepnya adalah mitigasi untuk memutus rantai Corona di masyarakat. Konsep ini pun sesunggguhnya sederhana karena hanya mengaktifkan apa yang sudah ada di kampung masing-masing. Kita hanya bikin satgas Corona mulai dari koordinator keamanan (satpam, hansip, dsb), tim logistik (ibu-ibu), tim kesehatan (ibu-ibu PKK), dan tim hubungan masyarakat. Setiap ada yang sakit harus lapor. Sakit apa pun wajib lapor supaya mudah melakukan pendeteksian penularan jika satu waktu ada yang terkena Corona di Kampung tersebut. Tak hanya itu, di sini kami juga turut membuat lumbung pangan warga di Kampung Siaga Covid-19 sebagai sistem ketahanan pangan masyarakat yang diadaptasi dari local wisdom di Jawa dan Sunda. Jadi setiap ada warga yang kebetulan kehabisan bahan pangan, bisa langsung minta ke situ. Cara mengumpulkannya pun tidak memberatkan. Setiap warga yang mampu dalam satu hari hanya diminta memberi satu genggam atau satu gelas beras ke lumbung untuk kebutuhan bersama di lain waktu. Jadi, karena kita nggak ada yang tahu wabah Corona ini akan berlangsung sampai kapan, maka adanya lumbung ini setidaknya bisa menjamin masyarakat dalam mendapat akses makanan secara gratis yang dikelola oleh warga mereka sendiri," tambahnya lagi.


3. Memberi apa yang bisa diberi


(Memberi edukasi sambil menyemprot dan membagikan hand sanitizer secara cuma-cuma di stasiun kereta. Foto: Dok. Sekolah Relawan)


Selain membuat Kampung Siaga Covid-19 dan memberi bala bantuan ke Wuhan, Bang Gaw bersama Sekolah Relawan tentu tidak tinggal diam dalam menghadapi apa yang terjadi di Indonesia. "Kasus pertama di Depok itu kalau tidak salah tanggal 1 atau 2 Maret. Pada tanggal 3, kami langsung beri edukasi ke masyarakat lewat penyemprotan hand sanitizer dan pembagian masker di Stasiun Sudirman, Depok Baru, dan Bogor. Karena menurut yang kami pelajari, commuter line dan stasiun kereta adalah salah satu tempat penyebar virus tercepat di sebuah wilayah. That’s why kami lebih memilih untuk membagikan masker dan menyemprot hand sanitizer sambil melakukan edukasi lewat tindakan antisipasi agar orang-orang tidak panic buying. Tim relawan Jabodetabek juga sangat banyak, yaitu sekitar 50-an orang. Tapi kalau ditotal dengan yang di daerah, jumlah relawan kami bisa sampe ratusan. Inilah yang memudahkan kami untuk menjalankan strategi. Membuat poster arahan 'masker hanya untuk yang sakit' dan lain sebagainya adalah salah satu contoh aksi yang kami lakukan di awal," imbuhnya lagi.


"Lalu kadang banyak orang bingung persediaan masker kami kok seperti tidak ada habisnya. Lho, dari dulu kami memang selalu punya masker karena kita adalah lembaga kemanusiaan yang selalu menyediakan itu jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Jadi waktu kami lihat ke gudang ternyata stok masih ada, langsung kami bawa dan bagikan ke orang-orang yang kiranya membutuhkan. Beda lagi dengan ketersediaan hand sanitizer. Ini khusus kami bikin karena di tim relawan, ada banyak anak kuliah jurusan kimia yang paham betul bagaimana cara membuatnya. Sehari bisa bikin ratusan botol. Saya pun akhirnya meminta mereka untuk bikin yang banyak untuk dibagi-bagikan."



(Membuat hand sanitizer sebanyak-banyaknya untuk dibagikan pada masyarakat. Foto: Dok. Sekolah Relawan)


"Bicara tentang APD coverall, dulu ketika kami kirim ke Wuhan, Indonesia belum terlalu butuh baju pelindung jenis ini. Makanya kami kirim saja dulu sebagian sebagian. Tapi, nyatanya sekarang ketika kita sangat butuh dan harganya sudah mahal sekali. Naik sampai hampir 4x lipat! Masker juga sama. Jadi di saat kita hampir putus harapan bisa dapat APD dari mana untuk membantu para frontliners, akhirnya ada kabar baik dari China bahwa coverall di sana masih murah, yaitu sekitar 250.000 - 300.000 rupiah per buah. Sedangkan di sini sudah 550.000 rupiah. Akhirnya kami belilah 500 pieces hasil dari penggalangan dana. Rencananya, baju APD ini pun akan kami bagikan ke banyak rumah sakit dan puskemas di daerah-daerah. Kenapa? karena teman-teman dokter pun menyarankan kami untuk lebih memprioritaskan tenaga medis di luar Jakarta karena yang di Jabodetabek bisa dibilang hampir semua sudah ter-cover. Di daerah justru masih gawat dan sangat butuh ketersediaan APD".


"Meski banyak yang menginfokan bahwa tersedia coverall murah yang dijual di pasaran, tapi saya tidak mau memberikan itu untuk para tenaga medis karena dari bahannya saja sudah beda. Tidak direkomendasikan untuk petugas ruang isolasi yang akan bersentuhan langsung dengan pasien Corona. Saya pun nggak mau ambil risiko karena memang kami mau kasih perlindungan yang betul-betul sesuai standar dan tidak asal murah saja. Harus menyediakan yang terbaik jika ingin membantu sesama terlebih jika hubungannya dengan wabah atau bencana. Terserah saja kalau saya mau dianggap melakukan mark-up logistik atau apa pun itu. Karena alasan saya sangat jelas bahwa saya mengeluarkan dana besar bukan untuk buang-buang uang tapi untuk memastikan keselamatan banyak orang. Apalagi ini sebenarnya kan belum masuk peak moment. Belum Ramadan jadi belum ada arus mudik atau pulang kampung. Diperkirakan peak-nya itu adalah pertengahan April. Doakan saja kami bisa dapat APD lagi untuk tanggal-tanggal itu," paparnya kemudian.


4. Untuk tenaga medis dan seluruh masyarakat


(Pendistribusian APD dan asupan bergizi ke tenaga medis. Foto: Dok. Sekolah Relawan)


Tak hanya mendistribusikan APD, ternyata tim dari Sekolah Relawan juga tak pernah berhenti mengantarkan makanan bernutrisi, buah, vitamin, hingga minuman-minuman kesehatan ke sejumlah rumah sakit di ibu kota. Dari yang awalnya masih mudah keluar masuk sampai sekarang penjagaan tiap RS sudah makin ketat, mereka tetap rajin mengantarkan kebutuhan para dokter dan petugas rumah sakit.


"Dalam melakukan pengantaran asupan bergizi bagi tenaga medis, kami memang melakukannya hampir setiap hari selama sepuluh hari. Kami bawa dan antarkan langsung pada mereka sehingga mereka bisa langsung menerimanya," kisah Bang Gaw. "Memang kami sangat menaruh perhatian khusus bagi tenaga medis. Tapi, hal itu tak menjadikan kami mengesampingkan yang lainnya. Masih ada kegiatan berbagi yang kami lakukan karena kami pun tahu dampak Corona bukan hanya pada kondisi kesehatan tapi juga pada perekonomian khususnya kelompok masyarakat ekonomi lemah. Jadi, tim kami pun ada yang bertugas mendistribusikan bantuan ke warga miskin, pedagang kecil, sampai pengendara ojek online."



(Pemberian kebutuhan pokok bagi pedagang kecil. Foto: Dok. Sekolah Relawan)


Sejauh ini, Sekolah Relawan di Jakarta memang terbagi atas 6 tim kerja, yaitu: 

1. Tim Kampung Siaga Covid-19,

2. Tim laboratorium yg memproduksi hand sanitizer dan disinfektan,

3. Tim disinfektasi,

4. Tim kirim bantuan ke RS,

5. Tim bantuan keberlangsungan hidup, dan

6. Tim logistik serta pembelanjaan.



(Penyemprotan dan penggosokan disinfektan di perumahan warga. Foto: Dok. Sekolah Relawan)


Keenam tim ini bekerja setiap hari untuk memastikan bantuan sampai ke tangan yang benar. Oleh sebab itu, rasanya apa yang terjadi sekarang ini bisa teratasi dengan cepat jika kita mau saling bantu dan mengedukasi satu sama lain seperti yang dilakukan oleh Sekolah Relawan.


5. Beda pandemi Corona dengan bencana lainnya


(Mengantarkan bantuan tanpa kenal lelah setiap hari. Foto: Dok. Sekolah Relawan)


Seperti diketahui, Corona memang masuk dalam special case atau kasus luar biasa. Oleh sebab itu penanganannya pun tidak mudah dan jadi pembelajaran baru juga bagi banyak orang termasuk para relawan.


"Ketika awal bencana, saya langsung kumpulkan para rescuer. Di situ saya bilang, ini bencananya beda. Musuhnya nggak kelihatan. Kalau bencana lain kan apa yang kita hadapi terlihat jelas dan sudah terpelajari. Kalau ini tidak. Jadi kami pun seperti membentuk kewaspadaan baru yang belum pernah diterapkan sebelumnya. Misalnya, dari dulu yang namanya tim penyelamat itu bisa dibilang waterproof alias jarang mandi. Hahaha. Nah, tapi sekarang, kami semua harus mandi sesering mungkin, ganti baju setiap habis kerja di luar, dan cuci tangan berkali-kali supaya tidak terpapar virus ini. Ngopi pun biasanya segelas bisa bertiga atau berberapa. Tapi sekarang satu orang harus pakai satu gelas saja."


"Melakukan koordinasi pun demikian. Dulu kalau ingin melakukan sesuatu, koordinasinya bisa langsung di base camp atau di mana-mana asal bisa kumpul sambil meeting. Kalau sekarang tidak bisa begitu. Kesehatan tubuh juga harus harus dijaga. Saya betul-betul galak pada semua tim untuk masalah ini. Saya bilang sama mereka semua, 'Gue enggak ingin lo semua down. Dokter-dokter sudah tumbang, gue enggak mau relawan juga tumbang!'. Untuk hal ini saya betul-betul keras. Karena tak seperti bencana pada umumnya, wabah ini tidak bisa diprediksi sama sekali. Area atau wilayahnya tak terbatas, waktu tidak jelas, dan yang dihadapi tak ada visualisasinya. Jadi ini semua seperti mengira-ngira yang sama sekali tidak bisa diperhitungkan. Hal terpenting yang saya tekankan adalah atur strategi, jaga stamina, dan jangan bandel. Sebab hanya itu yang bisa menyelamatkan kita dan orang-orang di sekitar kita pada akhirnya," lugasnya.


6. Pengalaman berharga


(Bayu Gawtama. Pendiri Sekolah Relawan yang tergerak untuk membantu sesama atas nama kemanusiaan sejak tahun 2002. Foto: Dok. Sekolah Relawan)


Meski Bang Gaw sudah terjun ke dunia kemanusiaan sejak tahun 2002 dan turut membantu sesama dari sejak bencana Tsunami Aceh hingga segala bencana yang terjadi 18 tahun belakangan, tapi pengalaman kali ini merupakan pengalaman baru yang mengubah cara pikir dan bagaimana ia harus bertindak. "Baru kali ini saya menghadapi sesuatu yang saya sendiri tidak tahu bentuknya. Standar perlindungan bencana pun biasanya kita sudah paham, tapi kini tidak demikian. Kasus luar biasa yang membuat siapa saja khawatir, termasuk juga saya dan teman-teman," tambahnya. Bahwa menjaga kebersihan dan kesehatan diri adalah tameng utama yang harus dilengkapi untuk melawan Covid-19 Novel Coronavirus ini. Bukan sekadar helm terlebih perahu karet, bukan juga hanya mementingkan keselamatan orang lain tapi juga keselamatan diri sendiri.


"Kita semua patut belajar dari Wuhan. Ini pasti akan selesai dan mereka bisa mengakhirinya karena semua warganya tertib," tutupnya mengakhiri perbincangan.



(Penyerahan bantuan dari para donator. Foto: Dok. Sekolah Relawan)


Salut dan terima kasih kami pada Bang Gaw dan seluruh tim Sekolah Relawan yang sudah mau berbuat begitu banyak untuk kemanusiaan. Tak hanya bantuan kebendaan tapi juga sumbang pikiran yang bisa ditiru secara positif oleh orang banyak. Well, konsep Kampung Siaga Covid-19 dan penanggulanan bencana berbasis komunitas yang mereka canangkan nyatanya sangat diterima oleh masyarakat. Mulai dari di Depok, Tangerang, Purwakarta, Cianjur, Ciamis, hingga Bandung, satu persatu mulai mengadopsi konsep tersebut untuk menjalankan rencana mitigasinya. Bahkan sebentar lagi beberapa daerah di luar Pulau Jawa juga ingin mengadopsi konsep tersebut.


Jika kita semua punya tindakan dan pemikiran yang sama, tentu wabah ini tidak akan bertahan lama. Kita semua pun akan baik-baik saja dan kehidupan akan kembali seperti sedia kala. 

Life & health