Life & health

Review Film: 'The Predator'

By : Rahman Indra - 2018-09-13 17:38:00 Review Film: 'The Predator'


Mengangkat judul yang sama dengan pendahulunya 30 tahun lalu Predator, film besutan Shane Black 'The Predator' kali ini menghadirkan kisah seputar penyerangan alien ke bumi.

Sayangnya, keinginan untuk menjadikannya film nostalgia yang bermuatan sci-fi keren dan juga lucu ini, menjadi serba nanggung. Tak begitu seram, dan tak sepenuhnya lucu. Black (yang pernah bermain di film Predator bersama Arnold Schwarzenegger) masih lemah dalam penggarapan, sehingga semuanya menjadi datar dan tak begitu kuat. 

Bagi penyuka film sci-fi, dan kisah alien seperti Alien, Terminator dan juga Predator pada era 1980-an, bisa jadi akan sangat menunggu film The Predator ini. Harapannya bisa kembali melihat perburuan dan aksi heroik pahlawan dalam mengalahkan serangan alien. 

(Baca juga: Review Film: Crazy Rich Asians)

The Predator melanjutkan kisah pendahulunya dengan menghadirkan makhluk asing berbahaya yang kali ini lebih kuat, lebih cerdas dan lebih maju teknologinya. 

Film yang diproduksi 20th Century Fox ini dibuka dengan jatuhnya pesawat luar angkasa di tengah hutan, dan kebetulan di situ ada Quinn McKenna (Boyd Holbrook), seorang agen yang juga mantan tentara yang sedang bertugas. Ia mengambil beberapa perlengkapan dari pesawat alien tersebut dan berhasil menyelamatkan diri.  


(Boyd Holdbrook dan Jacob Tremblay dalam adegan di film The Predator. Foto: Dok/20thCenturyFox)


Perlengkapan alien yang ia curi tersebut kemudian beralih ke anaknya yang mengidap autisme, Rory McKenna (diperankan Jacob Tremblay dengan baik). Rory mampu berkomunikasi dengan alien yang kemudian menginginkan perlengkapannya kembali. 

Perburuan tak berhenti disitu. Quinn bertemu dengan grup tentara bermasalah yang nantinya akan menjadi tim yang membantunya dalam menghadapi serangan alien. Mereka di antaranya Williams (Trevante Rhodes), Coyle (Keegan-Michael Key), Baxley (Thomas Jane), Lynch (Alfie Allen) dan Nettles (Augusto Aguilera). Sementara, di sudut kisah lain, seorang ahli biologi Dr Casey Brackett (Olivia Munn) mendapati adanya temuan DNA manusia di dalam darah alien. 


(Olivia Munn di film The Predator. Foto: Dok/20thCenturyFox)

Temuan mengejutkan secara ilmiah ini saling tarik ulur dengan bahaya yang mengancam penduduk bumi. Siapa sebenarnya alien yang terdampar di tengah hutan? Apakah dia ingin membantu bumi atau sebaliknya? Pertanyaan ini yang kemudian menjadi trigger cerita hingga di penghujung film. 

(Baca juga: Review Film: The Nun)

Duduk sebagai sutradara, Shane Black sebelumnya pernah menggarap Kiss Kiss Bang Bang, Iron Man 3, dan The Nice Guys. Bersama Fred Dekker, ia menulis naskah untuk The Predator, yang jatuhnya menjadi serba nanggung. 

Setidaknya ada tiga bagian besar yang ingin disampaikan, seperti mengajak penonton bernostalgia dengan pendahulunya Predator yang seram dan menakutkan, selipan humor yang menghibur, dan kecanggihan teknologi yang sederhananya ingin seperti film-film Stephen Spielberg. 


(Aksi alien di film The Predator. Foto: Dok/20thCenturyFox)


Namun, semua jadi serba permukaan dan tidak mendalam. Black tak berhasil membuat alien yang hadir begitu menakutkan, dan mengancam. Ketegangan yang dihadirkan tak begitu nyata. Sementara, candaan yang dihadirkan dengan tujuan menjadi action-comedy juga terasa garing di beberapa bagian. Terasa kurang natural. dengan becandaan ala 80-an yang mungkin sangat kontekstual bagi generasi milenial. 

Yang cukup menolong bisa jadi kecanggihan teknologinya. Black menghadirkan teknologi maju alien seperti layar sentuh di udara, atau make-over alien yang sudah maju dengan bentuknya yang 'indah' dan unik. Mirip seperti manusia yang bisa berjalan, berukuran tubuh besar, transparan dan bisa terbang. Andaikan ini digali lebih jauh, film The Predator bisa jadi lebih menyenangkan, karena tampak lebih unggul dan menjanjikan. 

 sebagai pengobat nostalgia dengan film pendahulunya 30 tahun lalu, dan kisah alien-manusia, film The Predator cukup menghibur.

Life & health