Hannah Al Rashid dan Dunia Perfilman Indonesia

Semakin sering tampil di layar lebar, Hannah Al Rashid, 31, kian memahami bahwa sebuah tim di balik layar produksi harus lebih diapresiasi.

Apa sih yang paling menyenangkan dari bermain film?
“Ketika menyadari bahwa saya sedang mencoba untuk jadi orang lain. Kenapa? Karena in a real life, saya belum tentu punya kesempatan yang sama untuk mengalami apa yang saya alami ketika on screen. Terutama ketika sedang mendapat peran sebagai psikopat, penjahat, dan lain sebagainya yang jauh berbeda dari karakter sehari-hari.”

Perkembangan film Indonesia saat ini?
“Sebenarnya sudah baik, tapi saya masih melihat adanya kurang penghargaan bagi mereka yang bekerja di balik layar. Tanpa kru, maka artis, sutradara, atau produser sekalipun tidak akan ada apa-apanya. Saya pun bakal nothing tanpa mereka. Oleh sebab itu, amat sayang ketika penghargaannya sering tak berbanding.”

Maksudnya?
“Jadi, we have to change our way of thinking! Peran sutradara dan pemain film itu penting. Tapi tanpa kru, film tidak akan jadi. Keberhasilan film adalah keberhasilan tim yang mencakup semuanya. Jadi penghargaan pun harus terbagi rata. Kelemahannya di negara kita adalah kru kerap dituntut untuk menghasilkan karya yang maksimal namun dengan fasilitas yang minimal. Belum lagi usaha mereka bak jauh dari ingar bingar dunia showbiz hingga tak diketahui orang. Miris rasanya.”

Jadi untuk Anda, proses pembuatan film itu tidak semudah kelihatannya?
“Iya. Karena setiap film itu seni! Menyaksikan tahapan pembuatan film pun selalu menarik. Dari mulai casting, meeting, reading, sampai semuanya selesai benar-benar satu langkah panjang yang membanggakan.”

Penghargaan untuk hasil kerja keras diri sendiri?
“Kalau selesai syuting film yang benar-benar menguras energi dan segalanya, hal yang pasti saya lakukan itu satu; treat myself with good foods and great friends. Ritual ini tidak sulit dan tidak juga neko-neko. I love foods and will celebrate many moments with super yummy things.”

(Teks: Rengganis Parahita)