Food & travel

Tempat Wisata Membatik di Lasem Jawa Tengah

By : Kiki Riama Priskila - 2018-05-22 14:58:00 Tempat Wisata Membatik di Lasem Jawa Tengah

Selama tiga hari dua malam, saya bersama Binus BNSD menyisiri salah satu kecamatan yang terkenal akan batik tulisnya di pesisir Jawa Tengah, Lasem.


Rembang adalah salah satu kabupaten yang berada di Utara Jawa tengah. Kota kecil yang menyimpan banyak cerita. Untuk menuju ke sana, kami menggunakan pesawat dan turun di bandara Achmad Yani, Semarang, dan dilanjut dengan transportasi darat menuju Rembang. Waktu yang ditempuh pun bervariasi, untuk amannya, siapkan 3-5 jam untuk duduk manis di mobil atau bis pariwisata, tergantung kendaraan darat apa yang dipilih. Santai adalah kata yang pas untuk dipilih menikmati kota ini. Dan jangan lupa, karena posisinya yang berada di pesisir pantai, bawa sunblock dan kipas.


Tujuan utama kami adalah mengunjungi Lasem, tepatnya 10 km dari Rembang. Motif batik yang mereka pakai macam-macam, dari Sekar Jagad, Latohan, Watu Pecah sampai motif Tiga Negeri yang legendaris pun tak luput dari lukisan tangan batik Lasem. Warna khas yang sering digunakan di Lasem adalah warna merah hati, biru dan hijau tua. Dan tentu saja, semakin detail kain batik tersebut, maka semakin mahal harga batiknya. Karena kami baru sampai di Rembang menjelang malam hari, maka kami memutuskan untuk melanjutkan kelas batik keesokan harinya.





Pada hari selanjutnya, kami mengunjungi Pusaka Beruang milik Pak Santoso. Mereka membawa kami untuk melihat proses pembuatan batik tulis sampai proses pewarnaan. Menurut Samini, 39, salah satu pengrajin Batik Lasem, per kain mereka seharga Rp 35.000 - 45.000 (tergantung motif yang diminta) dan kain yang biasanya berukuran 2.35 m x 1.05 m ini membutuhkan kira-kira satu hari untuk proses penyeselesaiannya.

Melihat para ibu ini bekerja memang terlihat mudah, namun ketika mencoba sendiri, terasa ingin memberi penghargaan tertinggi untuk para pembatik Nusantara! Sehabis “menulis”, kami dibawa ke bagian pewarnaan dan melorot. Dalam istiliah batik, melorot artinya adalah meluruhkan lilin di batik yang sudah diwarnakan. Sambil menunggu pewarnaan batik, karena hari sudah siang, kami pun disuguhkan makanan khas Lasem, Lontong Tuyuhan.



Sore harinya, setelah ngopi, kami berhasil menemukan lokasi Rumah Opium (dan tutup), akhirnya kami berjalan-jalan menempuh jalan-jalan kecil di daerah Lasem, dengan melihat pintu-pintu yang khas. Cukup menyenangkan karena penduduk lokal di Lasem termasuk ramah dan sangat membantu. Akhirnya kami dapat menemukan Klenteng Cu An Kiong. Klenteng ini masih digunakan sampai sekarang dan terawat dengan baik. Warna dinding yang digunakan tak mungkin membuat kamu tersasar.





Setelah itu, ternyata kami bisa mengunjungi ke Pantai Karang Jahe yang menjadi pusat wisata para penduduk lokal. Di sana, tepat waktunya untuk melihat sunset, karena pada pukul 17.30 pantai tersebut tutup untuk para pengunjung. Jadi, kalau ingin merasakan air laut yang menyegarkan, lebih baik datang dari siang. Setelah lelah bermain pasir, pada malamnya setelah bebersih diri, kami memilih untuk makan malam di alun-alun Rembang, yang berada tepat di depan hotel. Cobalah Nasi Gandul yang berada tak jauh dari pintu masuk alun-alun.



Pada hari terakhir, kami pergi mengunjungi Opa Sigit Witjaksono. Rumahnya berada tak jauh dari Rumah Merah (salah satu tempat wisata di Lasem, kamu bisa menginap juga lho di sini). Opa Sigit, dengan umur yang sudah tidak muda, beliau masih semangat menceritakan pengalaman hidupnya selama mengerjakan batik di Lasem. Batik alkulturasi berawal dari Opa Sigit. Diawali dengan pertanyaan, apa yang akan membedakan batik Bapak dengan batik Lasem lainnya? Dengan budaya yang bermacam-macam di daerah Lasem, muncullah ide untuk menggabungkan beberapa kebudayaan itu di satu lembar kain. Memang banyak sekarang yang mencontoh ide dari Opa Sigit, yang membedakannya adalah semua batik yang dibuat di Opa Sigit, lengkap dengan aksaranya, beliau mampu menafsirkannya dalam satu cerita.

Opa Sigit menceritakan bahwa Batik Lasem sudah ada dari zaman dulu, mengingat keluarga Opa Sigit sudah ada dari tahun 1740. Kebetulan, beliau adalah turunan ke-7, dan menganut budaya liberal. Maksudnya adalah, beliau tidak akan mengotak-kotakkan seseorang hanya karena asal atau kepercayaannya. Terbukti, dengan Opa Sigit yang menganut budaya Kong Hu Chu, istrinya yang seorang Muslim, anaknya yang Katolik, dan cucunya yang adalah seorang Santri.



Setelah bercengkrama cukup lama dengan Opa Sigit dan keluarga, kami sampai pada akhir wisata. Prinsip alon-alon asal kelakon yang sering dipakai oleh masyarakat Jawa, nampak cocok untuk digunakan di perjalanan ini. Pelan-pelan saja, asal semua yang direncanakan terwujud. Kalau memang semua yang direncanakan akan terwujud, toh pasti akan terwujud. Tiga hari dua malam di Rembang Jawa Tengah ini banyak menuai cerita. Namun cerita di balik cerita di Kabupaten Rembang ini tak akan terlupakan, apalagi panasnya.

(Oleh: Zamira Mahardini)

Food & travel