Nama Abimana Aryasatya merupakan salah satu nama besar dalam dunia perfilman Indoneisa. Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, The Night Comes for Us,
Gundala, Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2, Sri Asih, The Big 4, hingga
Virgo and the Sparklings baru sederet pendek dari ragam film yang pernah diperankannya. Di balik
kesibukannya sebagai aktor, Abimana menjalani peran sebagai ayah
dengan tekun dan penuh makna, sebuah tanggung jawab yang menurutnya
mengubah persepsi hidup secara mendalam.
Perjalanan seorang ayah
Menjadi ayah bukanlah peran yang datang dengan mudah. Bagi Abimana yang sudah
memiliki empat orang anak dewasa dan remaja, serta satu lagi yang
masih dalam kandungan, setiap kelahiran anak membawa pelajaran hidup
yang baru. Anak pertama lahir ketika ia masih berusia muda, dan momen
itu menjadi titik balik dalam hidupnya. "Saat itu, saya harus
berusaha bukan hanya untuk diri sendiri," kenangnya. Setiap
anak, mulai dari yang kedua hingga kelima, memberikan tantangan dan
pelajaran yang berbeda. "Anak kedua membuat saya harus berpikir
secara ekonomi, anak ketiga mengajarkan cara mengurus keluarga, anak
keempat menuntut saya untuk lebih bijaksana sebagai bapak, dan anak
kelima... yah, nanti kita lihat apa yang bisa saya pelajari darinya," tutur
Abimana dengan senyum.
Bagi Abimana, kebanggaan menjadi seorang ayah tidak semata-mata terletak
pada prestasi anak-anaknya, melainkan pada tanggung jawab yang ia
emban. "Generasi anak-anak saya berbeda. Tantangannya pasti berbeda
untuk setiap anak, termasuk anak kelima yang akan tumbuh di generasi
Alpha," ujarnya. Menghadapi berbagai tantangan ini, Abimana terus
belajar dan beradaptasi, menyadari bahwa tanggung jawab sebagai ayah
tidak pernah berhenti.
Sebagai seorang aktor yang sukses, Abimana juga harus bisa menyeimbangkan
tanggung jawabnya sebagai ayah. Ia mengakui bahwa dirinya bukanlah
aktor yang ambisius. "Dulu, saya berakting untuk diri sendiri,
sebagai pembuktian bahwa saya cukup baik. Tapi sekarang, saya mulai
memikirkan legacy seperti apa yang ingin saya tinggalkan," katanya. Perspektif ini
menunjukkan transformasi dari seorang aktor muda yang berfokus pada
diri sendiri, menjadi sosok yang berpikir jauh ke depan untuk
generasi selanjutnya.
Peran sebagai ayah, terutama bagi anak-anak yang sudah beranjak dewasa,
memengaruhi cara Abimana dalam memilih peran tertentu. "Saya
biasanya voting bareng anak-anak. Saat ada sebuah peran yang ditawarkan, saya butuh insight
dari mereka. Biasanya Satine yang lebih keras soal ini karena lebih
memahami soal sensibilitas yang terus berubah, khususnya terhadap
perempuan," ujar Abimana. Ia juga menginginkan adanya kolaborasi dalam keluarga, bukan sekadar
perintah dari orang tua. "Kami ingin anak-anak merasa terlibat dan
bertanggung jawab bersama," jelasnya. Sebagai orang tua, Abimana
dan istrinya, Inong Ayu, selalu berusaha menjadi pendengar yang baik
bagi anak-anak mereka, memahami setiap masalah yang dihadapi
anak-anak dari sudut pandang yang lebih luas.
Ketika ditanya tentang gaya parenting Abimana
dan sang istri, keduanya menggambarkan sebagai open-minded
dan fluid. Mereka selalu terbuka untuk berdiskusi dengan anak-anak dan tidak memaksakan
kehendak. "Kami akan tanya ke anaknya mau yang mana, tapi
sebagai orang tua, kami tetap membimbing dengan memberi tahu
konsekuensinya," jelas Abimana. Mereka terus belajar dan
beradaptasi dengan metode parenting
yang baru jika cara lama tidak berhasil. "Sebagai orang tua, kita
harus bisa mengakui kesalahan, memperbaiki, dan mencari solusi
bersama anak-anak," lanjutnya.
Selama lebih dari 20 tahun menjadi ayah, Abimana menyadari bahwa pelajaran
terbesar yang ia dapatkan adalah pentingnya mendengarkan. "Itu
hal paling awal yang harus kita pelajari sebagai orang tua, yaitu
untuk mencoba mendengarkan anak-anak kita," katanya. Dengan
mendengarkan, Abimana bisa memahami siapa anak-anaknya sebenarnya,
cara mereka berkomunikasi, dan apa yang mereka alami.
Masa kecil penuh tantangan
Kehidupan adalah guru terbaik. Ini yang mungkin menggambarkan momen masa kecil
sang aktor senior. Bisa dibilang masa kecil Abimana tidaklah mudah.
Orang tuanya meninggalkan Abimana pada usia yang sangat muda dan ia
harus tinggal dengan beberapa kerabat yang berbeda. "Saya tidak
mendapatkan pola parenting yang konsisten dalam kehidupan," kenangnya. Kehidupan bersama
orang tua angkat pun tidak berlangsung lama, sehingga Abimana harus
belajar dari kehidupan dan lingkungannya.
Ketika bapak dan ibunya berpisah, Abimana menemukan dirinya dalam situasi
yang memaksanya untuk tumbuh cepat. Tanpa bimbingan orang tua yang
stabil, ia harus mencari caranya sendiri. "Saya belajar dari proses
dan pengalaman. Istri saya bahkan mengajak saya ikut parenting
class, meskipun tidak semuanya bisa diterapkan pada setiap anak,"
jelasnya. Pengalaman inilah yang kemudian membentuk pola asuh yang ia
terapkan kepada anak-anaknya, berfokus pada pendekatan yang fleksibel
dan terus belajar.
Dalam perjalanan hidupnya, peran sebagai ayah memberikan banyak pelajaran
berharga. Setiap anak membawa pelajaran yang berbeda, setiap
tantangan memberikan kesempatan untuk tumbuh, dan setiap momen
berharga membentuk dirinya menjadi ayah yang lebih baik.
Kecintaan terhadap dunia film
Menjadi aktor bukanlah cita-cita yang sejak awal ada dalam benaknya.
Lingkungan tempat Abimana tumbuh, yang dipenuhi oleh anak-anak dari
sekolah seni, secara alami membawanya ke dunia seni. "Dari
fotografi, film, hingga musik, saya terbawa ke sini karena tumbuh
besar bersama mereka," ujarnya. Ia belajar bukan hanya dari satu
orang, melainkan dari banyak teman yang silih berganti datang dalam
kehidupannya.
Pertama kali terjun ke dunia akting, Abimana mendapatkan peran dalam serial televisi berjudul Lupus Milenia
(1999) sebagai Nuno. "Waktu itu, saya selalu melihat ke kamera,
merasa seperti ada orang yang melihat saya. Insting saja karena belum
terbiasa di-shoot,"
kenangnya sambil tersenyum. Tantangan terbesar saat itu adalah
membiasakan diri dengan dunia akting dan menerima kritik. "Saat
usia 17-18 tahun, semua hal menjadi tantangan. Bagaimana berdiri dan
bergerak di depan kamera, apakah saya sudah cukup baik?" ungkap
Abimana. Namun ia sadar bahwa semua itu merupakan proses pembelajaran
yang tidak mudah.
Sebagai seorang aktor, menjaga privasi menjadi tantangan tersendiri. Abimana
memilih untuk tidak sering mengunggah kegiatannya ke media sosial.
"Itu juga jadi problem
baru, karena orang jadi berpikir saya jarang olahraga padahal saya
cukup aktif di gym
dan lari," ujarnya. Namun dengan cara ini, ia mencoba menjaga
keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kariernya sebagai aktor.
Selama lebih dari 20 tahun berkarir, Abimana mengalami banyak perubahan
dalam cara berakting. Menurut sang istri, yang juga manajernya,
perkembangan Abimana luar biasa. Dari seorang yang mudah gugup dan
overthinking, ia kini telah menjadi aktor yang matang dan percaya diri. Film Belenggu (2013)
karya Upi Avianto menjadi salah satu titik balik dalam kariernya.
"Film itu membuka persepsi saya terhadap akting dengan cara yang
berbeda. Dulu saya melihat akting sebagai imitasi, tapi setelah
Belenggu, saya menemukan banyak kemampuan dalam diri yang bisa dikeluarkan," jelasnya.
Sebagai aktor senior, Abimana menyaksikan perubahan besar dalam industri film
Indonesia. Dulu, sulit membayangkan film Indonesia bisa diakui di
level internasional. Kini, dengan platform seperti
Netflix dan Youtube, kesempatan itu terbuka lebar. "Tantangannya
sekarang adalah SDM yang harus terus berkembang karena
pertandingannya sudah beda. Kita bisa bertanding dengan sosok-sosok
yang dulu jadi inspirasi kita, berarti kita harus bisa mendorong diri
lebih keras lagi," tegasnya.
Bagi Abimana, cinta pada proses pembuatan film adalah hal yang tak
tergantikan. "Saya suka film karena ada proses bersama
orang-orang yang terlibat. Hasil akhirnya tidak terlalu saya
pikirkan, tapi proses kolaboratif itulah yang saya dambakan,"
ungkapnya. Rindu akan proses ini mendorongnya untuk menulis dan
menyutradarai film pendek. Setelah melalui proses research yang panjang, ia kini bercita-cita untuk membuat film panjang.
Kisah hidup Abimana Aryasatya adalah contoh nyata bahwa hidup adalah
perjalanan panjang penuh pelajaran. Dari masa kecil yang penuh
tantangan hingga menjadi seorang aktor dan ayah yang bijaksana,
setiap langkah dalam perjalanan ini membentuk dirinya menjadi sosok
yang inspiratif. Dengan dedikasi pada keluarga dan karier, Abimana
terus mengukir prestasi, meninggalkan jejak yang mendalam di dunia
perfilman Indonesia.