Menelusuri Jejak Kehidupan dan Karier Sang Aktor

Aktor senior, Abimana Aryasatya, 41, bagikan pelajaran hidup yang didapatnya serta ragam tantangan yang masih dihadapi perfilman Indonesia.
Abimana

Kemeja dan Celana, SaptoDjojokartiko

Nama Abimana Aryasatya merupakan salah satu nama besar dalam dunia perfilman Indoneisa. Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, The Night Comes for Us, Gundala, Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2, Sri Asih, The Big 4, hingga Virgo and the Sparklings baru sederet pendek dari ragam film yang pernah diperankannya. Di balik kesibukannya sebagai aktor, Abimana menjalani peran sebagai ayah dengan tekun dan penuh makna, sebuah tanggung jawab yang menurutnya mengubah persepsi hidup secara mendalam.

Perjalanan seorang ayah

Menjadi ayah bukanlah peran yang datang dengan mudah. Bagi Abimana yang sudah memiliki empat orang anak dewasa dan remaja, serta satu lagi yang masih dalam kandungan, setiap kelahiran anak membawa pelajaran hidup yang baru. Anak pertama lahir ketika ia masih berusia muda, dan momen itu menjadi titik balik dalam hidupnya. "Saat itu, saya harus berusaha bukan hanya untuk diri sendiri," kenangnya. Setiap anak, mulai dari yang kedua hingga kelima, memberikan tantangan dan pelajaran yang berbeda. "Anak kedua membuat saya harus berpikir secara ekonomi, anak ketiga mengajarkan cara mengurus keluarga, anak keempat menuntut saya untuk lebih bijaksana sebagai bapak, dan anak kelima... yah, nanti kita lihat apa yang bisa saya pelajari darinya," tutur Abimana dengan senyum.

Bagi Abimana, kebanggaan menjadi seorang ayah tidak semata-mata terletak pada prestasi anak-anaknya, melainkan pada tanggung jawab yang ia emban. "Generasi anak-anak saya berbeda. Tantangannya pasti berbeda untuk setiap anak, termasuk anak kelima yang akan tumbuh di generasi Alpha," ujarnya. Menghadapi berbagai tantangan ini, Abimana terus belajar dan beradaptasi, menyadari bahwa tanggung jawab sebagai ayah tidak pernah berhenti.

Abimana

Celana pendek, dasi, dan kemeja, STUDIOMORAL

Sebagai seorang aktor yang sukses, Abimana juga harus bisa menyeimbangkan tanggung jawabnya sebagai ayah. Ia mengakui bahwa dirinya bukanlah aktor yang ambisius. "Dulu, saya berakting untuk diri sendiri, sebagai pembuktian bahwa saya cukup baik. Tapi sekarang, saya mulai memikirkan legacy seperti apa yang ingin saya tinggalkan," katanya. Perspektif ini menunjukkan transformasi dari seorang aktor muda yang berfokus pada diri sendiri, menjadi sosok yang berpikir jauh ke depan untuk generasi selanjutnya.

Peran sebagai ayah, terutama bagi anak-anak yang sudah beranjak dewasa, memengaruhi cara Abimana dalam memilih peran tertentu. "Saya biasanya voting bareng anak-anak. Saat ada sebuah peran yang ditawarkan, saya butuh insight dari mereka. Biasanya Satine yang lebih keras soal ini karena lebih memahami soal sensibilitas yang terus berubah, khususnya terhadap perempuan," ujar Abimana. Ia juga menginginkan adanya kolaborasi dalam keluarga, bukan sekadar perintah dari orang tua. "Kami ingin anak-anak merasa terlibat dan bertanggung jawab bersama," jelasnya. Sebagai orang tua, Abimana dan istrinya, Inong Ayu, selalu berusaha menjadi pendengar yang baik bagi anak-anak mereka, memahami setiap masalah yang dihadapi anak-anak dari sudut pandang yang lebih luas.

Ketika ditanya tentang gaya parenting Abimana dan sang istri, keduanya menggambarkan sebagai open-minded dan fluid. Mereka selalu terbuka untuk berdiskusi dengan anak-anak dan tidak memaksakan kehendak. "Kami akan tanya ke anaknya mau yang mana, tapi sebagai orang tua, kami tetap membimbing dengan memberi tahu konsekuensinya," jelas Abimana. Mereka terus belajar dan beradaptasi dengan metode parenting yang baru jika cara lama tidak berhasil. "Sebagai orang tua, kita harus bisa mengakui kesalahan, memperbaiki, dan mencari solusi bersama anak-anak," lanjutnya.

Selama lebih dari 20 tahun menjadi ayah, Abimana menyadari bahwa pelajaran terbesar yang ia dapatkan adalah pentingnya mendengarkan. "Itu hal paling awal yang harus kita pelajari sebagai orang tua, yaitu untuk mencoba mendengarkan anak-anak kita," katanya. Dengan mendengarkan, Abimana bisa memahami siapa anak-anaknya sebenarnya, cara mereka berkomunikasi, dan apa yang mereka alami.

Abimana

Kemeja, Sapto Djojokartiko

Masa kecil penuh tantangan

Kehidupan adalah guru terbaik. Ini yang mungkin menggambarkan momen masa kecil sang aktor senior. Bisa dibilang masa kecil Abimana tidaklah mudah. Orang tuanya meninggalkan Abimana pada usia yang sangat muda dan ia harus tinggal dengan beberapa kerabat yang berbeda. "Saya tidak mendapatkan pola parenting yang konsisten dalam kehidupan," kenangnya. Kehidupan bersama orang tua angkat pun tidak berlangsung lama, sehingga Abimana harus belajar dari kehidupan dan lingkungannya.

Ketika bapak dan ibunya berpisah, Abimana menemukan dirinya dalam situasi yang memaksanya untuk tumbuh cepat. Tanpa bimbingan orang tua yang stabil, ia harus mencari caranya sendiri. "Saya belajar dari proses dan pengalaman. Istri saya bahkan mengajak saya ikut parenting class, meskipun tidak semuanya bisa diterapkan pada setiap anak," jelasnya. Pengalaman inilah yang kemudian membentuk pola asuh yang ia terapkan kepada anak-anaknya, berfokus pada pendekatan yang fleksibel dan terus belajar.

Dalam perjalanan hidupnya, peran sebagai ayah memberikan banyak pelajaran berharga. Setiap anak membawa pelajaran yang berbeda, setiap tantangan memberikan kesempatan untuk tumbuh, dan setiap momen berharga membentuk dirinya menjadi ayah yang lebih baik.

Abimana

Celana dan outerwear, Jan Sober

Kecintaan terhadap dunia film

Menjadi aktor bukanlah cita-cita yang sejak awal ada dalam benaknya. Lingkungan tempat Abimana tumbuh, yang dipenuhi oleh anak-anak dari sekolah seni, secara alami membawanya ke dunia seni. "Dari fotografi, film, hingga musik, saya terbawa ke sini karena tumbuh besar bersama mereka," ujarnya. Ia belajar bukan hanya dari satu orang, melainkan dari banyak teman yang silih berganti datang dalam kehidupannya.

Pertama kali terjun ke dunia akting, Abimana mendapatkan peran dalam serial televisi berjudul Lupus Milenia (1999) sebagai Nuno. "Waktu itu, saya selalu melihat ke kamera, merasa seperti ada orang yang melihat saya. Insting saja karena belum terbiasa di-shoot," kenangnya sambil tersenyum. Tantangan terbesar saat itu adalah membiasakan diri dengan dunia akting dan menerima kritik. "Saat usia 17-18 tahun, semua hal menjadi tantangan. Bagaimana berdiri dan bergerak di depan kamera, apakah saya sudah cukup baik?" ungkap Abimana. Namun ia sadar bahwa semua itu merupakan proses pembelajaran yang tidak mudah.

Sebagai seorang aktor, menjaga privasi menjadi tantangan tersendiri. Abimana memilih untuk tidak sering mengunggah kegiatannya ke media sosial. "Itu juga jadi problem baru, karena orang jadi berpikir saya jarang olahraga padahal saya cukup aktif di gym dan lari," ujarnya. Namun dengan cara ini, ia mencoba menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kariernya sebagai aktor.

Selama lebih dari 20 tahun berkarir, Abimana mengalami banyak perubahan dalam cara berakting. Menurut sang istri, yang juga manajernya, perkembangan Abimana luar biasa. Dari seorang yang mudah gugup dan overthinking, ia kini telah menjadi aktor yang matang dan percaya diri. Film Belenggu (2013) karya Upi Avianto menjadi salah satu titik balik dalam kariernya. "Film itu membuka persepsi saya terhadap akting dengan cara yang berbeda. Dulu saya melihat akting sebagai imitasi, tapi setelah Belenggu, saya menemukan banyak kemampuan dalam diri yang bisa dikeluarkan," jelasnya.

Abimana

Celana dan outerwear, Jan Sober

Sebagai aktor senior, Abimana menyaksikan perubahan besar dalam industri film Indonesia. Dulu, sulit membayangkan film Indonesia bisa diakui di level internasional. Kini, dengan platform seperti Netflix dan Youtube, kesempatan itu terbuka lebar. "Tantangannya sekarang adalah SDM yang harus terus berkembang karena pertandingannya sudah beda. Kita bisa bertanding dengan sosok-sosok yang dulu jadi inspirasi kita, berarti kita harus bisa mendorong diri lebih keras lagi," tegasnya.

Bagi Abimana, cinta pada proses pembuatan film adalah hal yang tak tergantikan. "Saya suka film karena ada proses bersama orang-orang yang terlibat. Hasil akhirnya tidak terlalu saya pikirkan, tapi proses kolaboratif itulah yang saya dambakan," ungkapnya. Rindu akan proses ini mendorongnya untuk menulis dan menyutradarai film pendek. Setelah melalui proses research yang panjang, ia kini bercita-cita untuk membuat film panjang.

Kisah hidup Abimana Aryasatya adalah contoh nyata bahwa hidup adalah perjalanan panjang penuh pelajaran. Dari masa kecil yang penuh tantangan hingga menjadi seorang aktor dan ayah yang bijaksana, setiap langkah dalam perjalanan ini membentuk dirinya menjadi sosok yang inspiratif. Dengan dedikasi pada keluarga dan karier, Abimana terus mengukir prestasi, meninggalkan jejak yang mendalam di dunia perfilman Indonesia.





Cover Digital | © 2024 Herworld Indonesia