Life & health

Toxic Positivity, Kenapa Positivitas Bisa Berbahaya

By : Kiki Riama Priskila - 2020-01-31 10:14:00 Toxic Positivity, Kenapa Positivitas Bisa Berbahaya

Sikap yang positif selalu jadi dambaan semua orang. Sebesar apa pun masalah, saat kita dipenuhi rasa semangat, rasanya pasti akan segera terselesaikan.

Namun kenyataannya bagi sebagian orang, kata-kata penyemangat seperti “Jangan menyerah”, “Kita pasti bisa”, “Tetap semangat” justru menambah rasa sesak di dada. Kata-kata positif ini terasa menyengat, bahkan mampu memicu stres dan gangguan psikis lainnya. Jika ini yang terjadi, tandanya kita mengalami toxic positivity.


Mengenal toxic positivity



(Ilustrasi toxic positivity. Foto: Dok. Ismael Sanchez/Pexels)

Ini adalah gagasan yang dilontarkan untuk mendorong dan memaksa orang lain agar selalu bahagia, berpikir positif, semangat, dan selalu melihat sisi baik dari setiap masalah. Saat menghadapi tantangan, kita terbiasa terbelenggu dengan toxic positivity daripada berupaya menemukan solusi nyata.


Pasti salah satu dari kita pernah mengalami hal ini, misalnya saat berkeluh-kesah pada seorang teman, ia justru merespon dengan ungkapan “Sabar ya”, “Nanti juga pasti lupa”, “Tetap semangat”, “Coba lebih bersyukur, masih banyak orang yang keadaannya lebih parah”.


Atau justru kita yang berada di posisi itu. Kita hanya memberikan solusi untuk mengubur dalam-dalam perasaaan negatif seseorang ketika mereka terkena masalah. Kita seolah hidup dalam budaya bahwa perasaan positif adalah baik dan perasaan negatif adalah buruk.


Menurut Syazka Narindra, psikolog dari Patron Research Association, positivity adalah hal yang baik, tapi kalau dipaksakan justru akan membuat seseorang menolak perasaannya sehingga muncul perasaan tidak dimengerti.


“Di psikologi, kita dibiasakan untuk menerima perasaan lebih dulu. Kita merasa sakit tapi rasa sakit itu perlu karena perubahan akan selalu sakit. Dalam kasus toxic positivity, kita tak ingin merasa sakitnya dan selalu memaksakan bahwa kita baik-baik saja sehingga pasti melelahkan,” jelas Syazka.


Sejauh mana bahaya toxic positivity?



(Ilustrasi toxic positivity. Foto: Dok. Elijah O'Donnell/Pexels)

Tak semua orang butuh disemangati ketika mereka bercerita soal perasaan negatif atau pengalaman buruknya. Emosi punya pesan, baik itu rasa marah, jijik, sedih, bahagia, atau takut. Kata-kata positif atau semangat yang dipaksakan bukan solusi. Ini hanya akan membuat seseorang terobsesi dengan rasa bahagia hingga cenderung memanipulasi perasaannya sendiri.


Lalu, apakah toxic positivity berbahaya? Tentu saja! Menurut Syazka, emosi yang dipendam terlalu lama akan membuat seseorang mati rasa.


“Saat ia harusnya menangis, orang itu justru tersenyum sehingga badannya bingung. Bahkan secara klinis, bisa berubah jadi tumor atau bentuk psikosomatis (penyakit fisik akibat pikiran) lain,” jelasnya. Selain itu, kebiasaan memendam emosi justru bisa berujung pada depresi dan anxiety, tanpa menyelesaikan masalah.


Hal ini disebabkan karena setiap kita menyangkal atau menghindari emosi tidak menyenangkan, tanpa sadar emosi tersebut akan tersimpan di alam bawah sadar. Semakin lama dibiarkan tentu akan memburuk karena tetap diproses oleh otak. Sifat ini lantas akan jadi kebiasaan sehingga menciptakan lingkaran berbahaya bagi kesehatan mental. Semua orang butuh bahagia, tapi jangan jadikan obsesi berlebih.


Perbedaan 'optimis' dan 'toxic positivity'



(Ilustrasi toxic positivity. Foto: Dok. Dennis Magati/Pexels)

Perlu diakui bahwa kata-kata positif diperlukan untuk membuat diri lebih semangat saat menghadapi masalah. Namun, apa yang membedakan rasa optimis dengan toxic positivity? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), optimisme adalah paham atau keyakinan terhadap sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan sehingga memicu harapan baik dalam segala hal. Sedangkan toxic positivity adalah memaksakan segala sesuatu agar terasa baik-baik saja.


Perilaku toxic positivity cenderung menggampangkan urusan atau mengecilkan masalah orang lain, terlihat dari ucapan seperti, “Masa begitu saja tidak bisa?”. Berbeda dengan ‘optimis’ yang mampu melihat perspektif lain. Ingat, kata-kata bukan sekadar ucapan tapi punya makna bagi seseorang, sesingkat atau sepadat apa pun kalimatnya.


Hindari kebiasaan mengusir pikiran negatif secara paksa karena perasaan sedih, marah, dan frustrasi sangatlah normal jika kita berada dalam suatu masalah. Terbiasa untuk menghindari emosi yang menyakitkan justru akan menjadi bumerang, karena emosi-emosi tersebut bisa kembali di waktu yang tak terduga.


Pernah lihat kan ada orang stres yang tiba-tiba ‘meledak’ tanpa sebab? Pada akhirnya, rasa optimis sangat diperlukan dan harus diseimbangkan, namun bukan berarti kita lantas membunuh emosi sendiri.


Yang perlu dilakukan agar kamu tidak jadi 'toxic'



(Ilustrasi toxic positivity. Foto: Dok. bruce mars/Pexels)

Mungkin kita tak pernah mengalami langsung toxic positivity, tapi justru kitalah yang jadi sumber racun bagi orang-orang terdekat. Cara terbaik adalah dengan berusaha mendengarkan dengan sepenuh hati. “Dengarkan karena peduli, bukan hanya untuk gosip. Kalau memang tak peduli, jangan memaksakan diri,” jelas Syazka.


Saat seorang teman sedang curhat, jadilah pendengar yang baik dan validasi perasaannya saat itu. Kita bisa ucapkan, “Iya, aku mengerti”, “Wajar kok kamu merasa begitu”, “Aku tidak menyalahkanmu”, lalu biarkan mereka mengutarakan seluruh isi hatinya. Jika mereka ingin menangis atau bahkan mengumpat, biarkan saja.


Setelah mereka terlihat lebih tenang, tanya apa yang mereka butuhkan. Apakah mereka memang ingin solusi atau sekadar tempat bercerita? Lalu diskusikan bersama. Ingat, jangan paksakan keinginan kita pada orang lain karena belum tentu mereka punya sudut pandang yang sama. Beban kita adalah melihat orang lain mengangkat bebannya sendiri. 

Life & health