Life & health

7 Pria Pilihan 'Good Men 2019' Herworld Indonesia

By : Rahman Indra - 2019-07-11 15:00:00 7 Pria Pilihan 'Good Men 2019' Herworld Indonesia


Tahun ini, herworld Indonesia kembali memilih deretan pria yang memberi kontribusi untuk lingkungan sekitarnya, dalam Good Men 2019. Berasal dari beragam profesi, masing-masing memiliki perhatian khusus terhadap bidang yang digeluti.

Dari mulai politisi, psikiater, hingga seniman. Sederet prestasi dan kontribusinya patut mendapat perhatian. Lirik prestasi luar biasa dari tujuh lelaki istimewa yang berhasil her world wawancara tahun ini.


Melvin Sumapung, 28, CEO Justika.com


(Melvin Sumapung. Foto Insan Obi. Pengarah gaya Yolanda Deayu. Makeup and hairdo Novie Wijaya)


Sekitar 95% orang memiliki masalah signifikan dalam hidupnya. Ironisnya, hampir 70% kerap menyerah dan tak ingin menempuh jalur hukum. Adanya anggapan bahwa akses hukum mahal dan tidak reliable menjadi alasan utama kebanyakan orang enggan berurusan dengan hukum. Melihat fenomena ini, Melvin dan ketiga rekannya mendirikan Justika.com, sebuah marketplace yang mewadahi akses hukum. “Lewat Justika, kami ingin membantu orang-orang yang menyerah agar bisa mendapatkan hak mereka. Kami ingin masyarakat punya akses hukum yang profesional dan bisa diandalkan,” jelas Melvin. 

 Justika menawarkan konsultasi tatap muka atau by call, document service seperti document review, hingga pendampingan hukum. Menariknya, Justika memberikan transparansi biaya di muka sehingga pengguna tak akan dikejutkan dengan ‘biaya tambahan’ di tengah kasus. Baru berdiri pada pertengahan tahun lalu, Justika sudah mewadahi puluhan pengacara aktif dengan pengalaman 8-10 tahun dan mengerjakan sekitar 1000 kasus di Indonesia. 

 Kredibilitas memang menjadi hal penting dalam mengelola start-up ini. “Untungnya kami dibantu oleh Hukum Online untuk mengkurasi para advokat,” jelasnya. Melvin pun berharap Justika bisa membantu masyarakat agar melek hukum. “Dari segi edukasi, kami punya tim digital dan offline yang ‘keliling’ memberikan informasi, misalnya seperti bekerja sama dengan Bekraf untuk mengedukasi tentang hak kekayaan intelektual,” tutupnya.

(Teks: Kiki Riama Priskila) 


Alfatih Timur, 27, CEO Kitabisa.com


(Alfatih Timur. Foto Insan Obi. Pengarah gaya Yolanda Deayu. Makeup and hairdo Novie Wijaya)


Terkesima dengan budaya gotong-royong yang akrab di Indonesia, Alfatih Timur atau biasa dipanggil Timmy ini ingin membuat wadah donasi yang lebih terpercaya dan efisien. Pada 2013, Kita Bisa pun berdiri sebagai platform online untuk crowd-funding. “Dengan adanya Kita Bisa, kami ingin memudahkan masyarakat untuk berdonasi kapan saja dan di mana saja. Bukan soal jumlahnya, karena di Kita Bisa donasi sudah bisa dilakukan dari Rp1000, tapi lebih ke kemauannya,” jelas Timmy. Membangun rasa percaya dari masyarakat juga menjadi poin penting yang diutamakan dalam hal ini sehingga perlu adanya proses verifikasi mendalam dalam setiap kampanye yang diangkat oleh Kita Bisa. “Kami pasti verifikasi orangnya, KTP, ceritanya, rekening pencairannya, bukti rumah sakit (untuk medis). Kalau ada kampanye yang mencurigakan, semua orang bisa langsung melapor,” lanjutnya. Kita Bisa juga memberikan kemudahan pencairan dana yang bisa dilakukan 2x24 jam. 

 Saat ditanya soal jenis kampanye yang paling marak di Kita Bisa, Timmy menjawab, “Pertama adalah medis, penyakit kanker pada dewasa atau bayi lahir prematur. Kedua keagamaan seperti aktivitas membangun masjid dan gereja. Ketiga adalah bencana.” Bicara soal donasi uang, Timmy juga sadar bahwa transparansi adalah kunci. Ia menjelaskan bahwa semua laporan keuangan bisa diakses secara terbuka. Hingga kini, Kita Bisa berhasil mendanai 26.687 kampanye, Rp734.238.173.706 donasi dan zakat yang tersalurkan, dan diikuti oleh 2.388.459 pengguna.

(Teks: Kiki Riama Priskila)


Naufal Abshar, 26, Seniman


(Naufal Abshar. Foto Insan Obi. Pengarah gaya Yolanda Deayu. Makeup and hairdo Novie Wijaya)


Di balik uniknya lukisan yang identik dengan tulisan “HA HA”, ada sosok lelaki yang memiliki segudang mimpi. Dirinya yang sempat tinggal di Singapura dan London saat mendalami seni ini merasa kota Metropolitan yang serius dan kaku justru berhasil menciptakan inspirasi baginya dalam berkarya. “Menurut saya, kota Metropolitan memiliki lack of humor. Mereka terlalu serius, padahal semua orang butuh tertawa. Tidak harus karena sesuatu yang lucu, bisa juga karena menertawakan diri sendiri atau orang lain,” jelas Naufal soal inspirasi di balik karyanya. Kata ‘HAHA’ sendiri diambil dari gaya bahasa kita saat bertukar pesan teks. 

 Seni memang sudah menarik perhatiannya sejak kecil. “Pertama kali melukis setelah lulus SMA, saya langsung tertarik untuk mendalaminya secara serius. Bagi saya, lukisan bisa menggambarkan jiwa dan pikiran si seniman. Inilah yang menarik karena lukisan sendiri bisa direpresentasikan berbeda dengan orang lain,” lanjutnya. Penggemar Jean-Michel Basquiat ini juga memilih untuk fokus di dunia seni murni karena adanya panggilan hati. “Dalam dunia seni merni, tak ada salah dan benar. It’s so abstract yet so thoughtful,” jelas Naufal. 

 Meski begitu, sebagai seniman muda di Indonesia, ia sempat merasakan tantangan yang mungkin masih ada hingga sekarang. “Contohnya adalah minimnya apresiasi dan adanya social pressure, bahkan dari lingkup keluarga besar. Seniman belum dianggap sebagai sebuah profesi padahal kita bisa berkarier di sana. Selain itu, belum ada undang-undang hak cipta yang bisa melindungi karya kita sepenuhnya,” ucapnya. Meski begitu, ia tak pernah berpikir untuk berhenti berkarya. Baginya, karya seni bukanlah sekadar barang, melainkan sebuah tanda cinta penuh makna.

(Teks: Kiki Riama Priskila)


Jiemi Ardian, 29, Psikiater


(Jiemi Ardian. Foto Insan Obi. Pengarah gaya Yolanda Deayu)


Kesehatan mental memang erat ikatannya dengan stigma negatif, khususnya di Indonesia. Namun, hal ini tak lantas membuat Jiemi berkecil hati saat memutuskan untuk berkarier sebagai psikiater secara profesional.

“Di kota besar, banyak anak muda yang ingin bunuh diri. Masalahnya bukan pada kesadaran mereka, melainkan karena stigma negatif yang akhirnya menghalangi untuk mencari bantuan,” jelas Jiemi. Menurutnya, stigma ini juga tak hanya ditancapkan pada pasien jiwa, tapi juga pada pelayanan kesehatannya seperti rumah sakit dan dokter yang menangani.

“Psikolog dan psikiater digambarkan sebagai orang yang mengurus ‘orang gila’. Tentu ini merepotkan saat kami ingin mengedukasi atau membantu. ‘Ah, itu kan untuk orang gila, bukan untuk saya.’ Jadi pesannya tidak sampai,” lanjutnya. Untung, semakin banyak pihak yang terus memberikan edukasi pada masyarakat luas, termasuk self-help group. Menurut Jiemi, selama tiga tahun terakhir, isu kesehatan jiwa semakin bergaung. 

Namun, salah satu hal yang mendorongnya fokus di kesehatan jiwa adalah karena ia sempat ingin bunuh diri. “Saya semakin tertantang karena pernah mengalami rasanya. Saya ingin melihat sisi lain dari manusia, dalam hal ini adalah kejiwaan,” kenangnya. Lalu, bagaimana Jiemi bisa bangkit dari depresi?

“Saat itu saya punya support system yang bagus. Ini adalah sebuah kemewahan yang tak dimiliki semua orang,” jawabnya. Psikiater yang berbasis di Bogor ini juga sering membagikan informasi via media sosial tentang masalah emosional sehari-hari yang relevan. Hal ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan awareness sehingga masyarakat bisa berani mengambil langkah untuk menolong diri sendiri. Menurutnya, masih banyak yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat mengenai isu kesehatan jiwa.

“UU Kesehatan Jiwa adalah awal yang bagus tapi masih banyak yang harus dikejar, misalnya membuat hotline bunuh diri. Tapi tak apa, kita tidak boleh lelah untuk terus bersuara demi penanganan kesehatan jiwa yang serius,” tutupnya.

(Teks: Kiki Riama Priskila)


Rian Ernest, 31, Politisi


(Rian Ernest. Foto Insan Obi. Pengarah gaya Yolanda Deayu. Makeup and hairdo Novie Wijaya)


Menjadi politisi tak pernah jadi cita-cita lelaki yang tergabung dalam Partai Solidaritas Indonesia ini. Awalnya, ia punya mimpi jadi jaksa atau Pastur karena dianggap berhati mulia. Namun, kecintaan pada isu kenegaraan tiba-tiba muncul sejak menerima pelajaran Tata Negara di SMA. Oleh sebab itu, ia pun memutuskan untuk kuliah di jurusan Hukum meski sempat tak disetujui orangtua. 

Sempat bekerja sebagai Corporate Lawyer, hati kecilnya masih belum puas karena keinginannya untuk membantu orang lain belum terpenuhi hingga ia mendapat tawaran untuk jadi pengajar sukarela di program Indonesia Mengajar pun datang pada 2011. Tanpa pikir panjang, ia segera mengajukan unpaid leave dan berangkat menuju Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur saat usianya masih 24 tahun. Di sini, cara pandangnya berubah. Pertama kali bersentuhan dengan sektor publik, membuat mata, telinga, dan hatinya terbuka lebar. Dari situ ia pun tahu bahwa memang pekerjaan seperti itulah yang membuatnya senang. Tak lama kemudian, mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, menawarkan untuk magang di Balai Kota yang tentu tak disiasiakannya.

“Negara kita kebanyakan orang pintar. Profesional pintar, pemikir cerdas, sampai para teknokrat yang brilian. Tapi politisi yang pintar masih minim. Padahal untuk membuat kebijakan publik dan apa pun yang berhubungan dengan masyarakat, ilmu politik harus benar-benar dipahami. Sebab kalau tidak rakyat yang dirugikan. Ini meyakinkan saya untuk terjun ke dunia politik. Tantangannya jelas ada. Untuk tetap jadi diri sendiri dan bertahan pada idealisme jelas bukan urusan gampang. Terlebih pada sistem yang jelas-jelas kurang friendly pada prinsip tersebut. Namun saya harus tetap konsisten. Karena kalau tidak, saya malah akan jadi bagian dari masalah, bukan sebagai pintu dari solusi.”

Terakhir, ia pun menggarisbawahi tentang usia produktif dan sistem kurikulum di Indonesia. “Sebagai negara besar dengan penduduk sangat banyak, Nusantara masih kekurangan orang-orang produktif yang bisa berpikir dan bertindak cepat sesuai dengan kebutuhan Bangsa. Sekolah dan pendidikan di Tanah Air kurang bisa menciptakan bibit-bibit unggul yang kompetitif. Artinya, anak-anak usia sekolah hanya diajarkan untuk bekerja sebagai pekerja. Bukan pemikir, pencipta sesuatu, atau penyelesai masalah. Padahal itu yang dibutuhkan oleh Negara terutama di kondisi serba modern seperti sekarang. Itu yang paling disayangkan dan saya harap masih bisa berubah satu hari nanti,” tutupnya.

(Teks: Rengganis Parahita) 


WINSTON UTOMO, 28, CEO IDN MEDIA


(Winston Utomo. Foto Insan Obi. Pengarah gaya Yolanda Deayu. Makeup and hairdo Novie Wijaya)


Melihat kenyataan bahwa pengguna internet terbesar adalah para Millenial dan gen Z, Winston dan adiknya, William Utomo, memberanikan diri untuk membuat media online pada 2014 yang fokus di kebutuhan dua generasi tersebut. Sebagai produk pertama yang dibuat, IDN Times merupakan produk multi platform yang berisi news and entertainment di mana sifatnya ringan namun aktual dan padat informasi.

“Millenial dan generasi Z itu sangat suka membaca sesuatu yang sifatnya listicle. Artinya, berita-berita yang berbentuk list, 1, 2, 3 itu mereka senang karena lebih cepat dimengerti dibandingkan membaca paragraf-paragraf penuh. Nah, di sinilah IDN masuk khusus untuk pasar generasi muda yang sebelumnya tak ada,” ujar lelaki asal Surabaya yang belajar membangun media secara otodidak karena tak punya basic jurnalistik atau pun web making. “Yang saya lakukan hanya baca buku, mengobrol dengan yang berpengalaman, dan nonton Youtube. Saya sendiri lulusan Bisnis dari Amerika. Tapi karena sempat bekerja di Google Singapura selama dua tahun, mata saya mulai terbuka akan teknologi dan pentingnya sistem informasi.”

Awalnya, William yang mulai mengerjakan semuanya seorang diri saat Winston masih berada di Singapura. Dikerjakan secara full time dari rumah, lama kelamaan IDN mulai berhasil meraih pasarnya. Winston tentu membantu. Namun karena jauh, William jadi satu-satunya ‘pekerja’ yang mengisi konten IDN tanpa kenal waktu. Kini segala jerih payah itu pun berbuah manis.

Dalam waktu lima tahun, IDN sudah memiliki empat online platform dan tiga bisnis lainnya yaitu IDN Times (multimedia berita dan hiburan), Popbela.com, Popmama.com, Yummy (laman Instagram mengenai makanan), IDN Event (sebuah event organizer), IDN Creative (in-house digital agency), dan IDN Creator Network (tim marketing yang biasa berhubungan dengan klien dan influencer). 

Dari seluruh kesuksesan yang diraih, Winston menekankan bahwa kebahagiaan para tim adalah modal utama dalam bisnis ini.

“Seluruh tim yang bekerja di perusahaan kami akan selalu kami pastikan bahagia. Karena, tim yang biasa kita sebut timmy ini akan bisa bekerja maksimal jika hatinya gembira. Jika mereka senang dan bisa bekerja sesuai passion, maka pembaca akan happy. Kalau pembaca happy, klien akan datang. Jika klien datang, investor pun tiba dan investor bisa lebih banyak. Ketika ada uang lebih, malah bisa tambah pekerja. Everything is about the people, dan timmy, yang kini sudah berjumlah 270 orang, adalah yang paling fundamental.”

(Teks: Rengganis Parahita) 



DIEGO YANUAR, 29, PETUALANG EVERYTHING IN BETWEEN


(Diego Yanuar. Foto: Dok/Pribadi) 


Bagi sebagian orang, bersepeda mungkin hanya sebatas hobi dan aktivitas olahraga. Namun bagi Diego Yanuar dan kekasihnya Marlies Fennema, mengayuh kendaraan roda dua dari Belanda menuju Indonesia sambil membawa misi mulia adalah hal lain yang bisa dilakukan. Ide awalnya sederhana, yaitu ketika mereka berdua sedang naik pesawat dan melihat banyak negara terlewati di bawahnya. Marlies pun bercanda, “Kenapa kita tak naik sepeda dari Belanda ke Indonesia supaya bisa lihat semuanya?” Siapa sangka celetukan itu akhirnya berhasil dan berani direalisasikan. Ini yang mengawali dibuatnya ‘Everything in Between Journal’. “Karena kami ingin melihat apa saja yang ada di antara Indonesia dan Belanda, kami pun menamakan perjalanan ini demikian,” ujar adik kandung dari Andien Aisyah ini. 

Sejak April 2018 hingga Februari 2019, mereka bersepeda menggunakan sepeda touring dari besi melintasi 23 negara dan dua benua selama sebelas bulan sambil melakukan charity untuk manusia, binatang, dan tumbuhan melalui tiga organisasi yang bergerak di bidang tersebut. Demi pencarian makna hidup, banyak momen menyentuh yang mereka lalui. “Ketika saya dan Marlies bersepeda, seringkali orang yang tak punya apa-apa justru membantu kami dengan tulus. Menawarkan bermalam di rumahnya, memberi bantuan ini dan itu, sampai memberi uang pun pernah. Hal ini membuat kami tersentuh. Bahwa untuk memberi dan menolong orang lain nyatanya tak harus berkecukupan. Meski tak kenal, mereka bisa berbuat sesuatu yang baik untuk sesamanya,” kenangnya. 

Diego pun berhasil mengumpulkan dana melalui Kitabisa.com sekitar 22.000 Euro (sekitar Rp329.700.000) dari target awal sebesar 15.000 Euro. Ia pun langsung menyalurkan seluruh dana tersebut pada tiga organisasi yang tak disebutkan namanya. “Sisi positif dari yang saya lakukan ini adalah saya jadi bisa bisa mengerti bahwa tak perlu jadi yang terbaik untuk bisa melakukan hal baik, karena sesungguhnya dunia ini surga dan kita semua bisa memaknai hidup dengan indah jika kita tahu bagaimana cara berbagi,” jelas Diego.

(Teks: Rengganis Parahita) 

Life & health