Life & health

Kali Kedua, Pentas 'I La Galigo' Hadir Lagi di Jakarta

By : Rahman Indra - 2019-06-24 15:16:00 Kali Kedua, Pentas 'I La Galigo' Hadir Lagi di Jakarta


Pementasan 'I La Galigo' akan kembali hadir di Jakarta. Ini merupakan pementasan kedua setelah tampil perdana untuk world premiere di Esplanade Theaters on the Bay, 14 tahun lalu. Pementasan ini sebelumnya telah menyambangi sembilan negara dan 12 kota besar di dunia.

Berlangsung di Ciputra Artpreneur Theatre, Jakarta pada 3,5,6 dan 7 Juli 2019, pementasan ini seakan mengingatkan dan mengajak kembali generasi muda Indonesia untuk tidak melupakan budaya agung bangsa sendiri.

Namun, perjalanan persiapan ini pun ternyata tak mudah dan seperti persiapan pementasan lainnya. Ada hal unik di seputar pementasan. Apa saja? 

(Baca juga: Menyusuri 7 Museum Bersejarah di Indonesia) 

Pementasan musik-teater I La Galigo beranjak dari Sureq Galigo, wiracarita tentang mitos penciptaan suku Bugis yang terabadikan lewat tradisi lisan dan naskah-naskah; terekam dalam bentuk syair (circa abad ke-13 dan ke-15) dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno yang juga ditulis dalam huruf Bugis kuno.

Pada awalnya, Sureq Galigo bukanlah kitab utuh, tapi tersebar di beberapa tempat. Ada bagian yang dimiliki kolektor pribadi dan ada juga yang sudah menjadi koleksi museum di luar negeri.

Untuk yang berada di dalam negeri, bagian-bagian dari kitab yang masih disimpan baik-baik ini, merupakan sesuatu yang sakral. Tidak sembarang waktu bisa dibuka atau diperlihatkan kepada sembarang orang. “Izin” yang harus diperoleh bukanlah izin birokrasi pemerintah yang bisa selesai dengan sepucuk surat bermaterai, melainkan izin adat yang cukup berliku-liku dan harus melewati berbagai tahap.

(Pementasan I La Galigo. Foto: Dok/YayasanBaliPurnati) 


Akhirnya Sampai ke Panggung 

Dalam catatan produksinya yang diterima redaksi Herworld Indonesia, Rhoda Grauer selaku dramaturg pentas I La Galigo pertama kali mendengar Sureq Galigo pada akhir 1990 ketika melakukan penelitian untuk film tentang Bissu. Indonesia, bagi Rhoda yang berasal dari New York AS, bukanlah sesuatu yang terlalu asing karena ia sudah menetap di Indonesia dan juga merupakan salah satu pendiri Yayasan Kelola.

Dalam masa penelitian yang dilakukannya, penasihat Rhoda di Sulawesi Selatan mengungkapkan dirinya mendukung ide film ini sepanjang subjeknya diteliti secara cermat dan diperlakukan dengan bermartabat.

“Untuk menghargai peran penting Bissu secara budaya,” ujarnya, “Anda harus paham epik besar Bugis, Sureq Galigo. Bissu melacak asal-usul mereka sampai ke epik ini dan memperlakukannya sebagai benda keramat, dan sampai saat ini mereka masih menjalankan upacara yang digambarkan di naskah itu.”

Begitu bersemangatnya Rhoda untuk membaca Sureq Galigo, dan ia pun terhenyak ketika kenyataan mengatakan ‘mustahil’.

Dengan perkecualian tiga bab yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, tidak satu bagian pun dari manuskrip ini, total 6.000 halaman folio lebih, yang sudah diterjemahkan dari bahasa Bugis Kuno arkaik ke bahasa modern. Ada ringkasan sepanjang 1.000 halaman yang sudah diterbitkan dalam bahasa Belanda dan disunting dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.


(Pementasan I La Galigo. Foto: Dok/YayasanBaliPurnati) 


Dengan bahasa Indonesianya yang tak seberapa dan dibantu banyak teman, ia berhasil membaca sebagian besar apa yang ada. Sedikit demi sedikit, ia mulai pergi menjumpai pakar Galigo dari Indonesia dan luar negeri yang bermurah hati berbagi pengetahuan mereka tentang puisi epos ini, mereka memberinya ringkasan cerita dalam bahasa Inggris, membagi makalah penelitian mereka, dan mengundangnya ke pertemuan-pertemuan akademis di mana ia dapat berjumpa dengan para pakar lainnya.

Untungnya, ia kemudian diperkenalkan kepada Alm. Drs. Muhammad Salim, penerjemah paling terkemuka Sureq Galigo di dunia. Alm. Drs.Salim-lah yang kemudian berperan sebagai penasihat utama teks dan cerita, mengatakan bahwa kurang dari 100 orang di Sulawesi Selatan yang masih bisa membaca dan memahami manuskrip kuno itu.

Dalam perjalanannya menggali lebih dalam Sureq Galigo, timbul pemikiran untuk mengangkatnya menjadi sebuah pementasan. Ia pun menyambangi Restu I. Kusumaningrum direktur artistic Yayasan Bali Purnati, untuk bekerja sama mengangkatnya ke pentas. Keduanya sepakat untuk mengajak Robert Wilson sebagai sutradara.

(Pementasan I La Galigo. Foto: Dok/YayasanBaliPurnati) 


Ke Tanah Asal La Galigo 

Pada suatu hari di bulan Maret 2001, Restu mengadakan perjalanan ke Cerekang dan Malili untuk mengadakan pertemuan dengan tetua Luwuq, tanah Sureq Galigo. Ayahnya berkali-kali mengingatkan bahwa selain meminta izin dari para akademisi, juga amat penting untuk meminta izin dan pemberkatan dari leluhur di Luwuq. Maka, Restu dan Rhoda pun pergi diantar seorang pemuka adat muda dari Luwuq. 

Luwuq adalah tempat yang dianggap sebagai tempat bermulanya kebudayaan Bugis. Perjalanannya delapan jam melalui jalan berliku-liku. Begitu tiba mereka mengunjungi istana di mana para keturunan raja Luwuq tinggal dan memegang kekuasaan adat. Yang terpenting, mereka berhasil bertemu dengan tetua adat yang dengan suka-cita memberikan pemberkatan, malah mereka berkata, “Kami telah menunggu kalian.”

Selain itu, Restu kemudian mendapatkan tiga mitra kerja luar biasa dari perjalanan tersebut. Ibu Ida Joesoef M. dan Ibu Andi Ummu Tunru, yang masing-masing mengelola sanggar tari di Sulawesi Selatan, dan komposer Rahayu Supanggah dari Solo.

Dalam tiga tahun persiapan mereka harus terus menjelajah seluruh Sulawesi Selatan, dari Makassar sampai Luwuq. Perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, tapi sepadan, apalagi ketika sejumlah benih yang ditanam untuk memicu ketertarikan pada mitos Bugis kuno sekarang telah bertunas, dan seniman muda yang tinggal di daerah telah memiliki kesempatan untuk memperluas diri di tingkat dunia.

Pentas I La Galigo hasil kerjasama Bakti Budaya Djarum Foundation, Yayasan Bali Purnati, dan Ciputra Artpreneur ini akan kembali hadir di Ciputra Artpreneur Theatre, Jakarta pada 3,5,6 dan 7 Juli 2019. 

Life & health