Life & health

Review Film: 'Peppermint'

By : Rahman Indra - 2018-09-15 13:52:00 Review Film: 'Peppermint'


Lebih dikenal sebagai aktris drama dan atau komedi romantis, Jennifer Garner kali ini lewat film 'Peppermint' mendapat kesempatan untuk menunjukkan kebolehannya dalam film aksi. 

Menunjukkan keahliannya bela diri, merubuhkan lawan dengan tangan kosong atau seperti Steven Seagal yang mengangkat senjata yang besarnya separuh dari badannya yang mungil. Film 'Peppermint' jadi ladang aksi Garner yang menuntut balas menjadi malaikat pencabut nyawa sekaligus malaikat pelindung bagi yang lemah. 

Peppermint sendiri mengacu pada rasa es krim kesukaan putrinya yang tewas beberapa saat bahkan sebelum es krim itu habis mencair. Terlepas dari kekurangan dan stereotype film ini yang sarat muatan politik, aksi jatuh bangun Garner di Peppermint patut mendapat perhatian lebih. 

(Baca juga: Review Film: Crazy Rich Asians) 

Film Peppermint dibuka dengan adegan kala Riley North (Garner) menghabisi sosok mafia tak dikenal di dalam mobil dalam keadaan sadis. Adegan lalu berbalik flashback ke lima tahun sebelumnya. 


(Adegan di film Peppermint. Foto: Dok/LakeshoreEntertainment)


Riley adalah seorang warga kelas menengah Los Angeles yang bekerja sebagai karyawan bank. Suaminya Chris (Jeff Hephner) seorang mekanis yang bekerja di bengkel, dan mereka memiliki seorang putri berusia 10 tahun Carly (Cailey Fleming). 

Sebuah insiden di mana Chris terkait mafia narkoba membuat Riley menyaksikan suami dan putrinya tewas ditembak secara brutal di hadapannya. Meski selamat dengan trauma berat, Riley tak mendapatkan keadilan dari proses hukum. Ketiga mafia penembak lolos dari jerat hukum, dan ia dimasukkan ke rumah sakit gangguan mental. Menjelang menit-menit terakhir dibawa ke RS, ia berhasil lolos. 

Berlanjut ke masa kini, Riley menuntut balas. Para pelaku kejahatan tewas mengenaskan. Para penegak hukum yang terlibat di masa silam, dari mulai jaksa, hakim dan polisi yang korup dibantai habis dengan cara sadis. Riley menjadi sosok 'pencabut nyawa' yang beraksi tanpa ampun. Tujuan akhirnya adalah kepala mafia Diego Garcia (Juan Pablo Raba)


(Adegan di film Peppermint. Foto: Dok/LakeshoreEntertainment)


(Baca juga: Review Film: The Nun)

Disutradarai Pierre Morel (yang pernah membuat Taken), film ini memberi porsi dan kesempatan akan Jennier Garner menujukkan kebolehannya dalam film aksi. Separuh film seolah akan mengingatkan akan film besutan 'Taken', dan sekaligus sosok heroin serupa seperti 'Alias' atau 'Elektra'. 

Seorang ibu biasa yang karena pengalaman traumanya menunut balas dan keadilan. Dari latar belakang cerita, sosok Riley sudah mendapatkan simpati penonton. Hidupnya yang sederhana, bosnya yang tak membolehkannya pulang lebih awal di hari ulang tahun putrinya, hingga kemudian kehilangan dua orang yang paling ia cintai. 

Namun, persoalan muncul ketika Morel menampilkan sosok mafia gang Latin yang mengukuhkan stereotype bahwa mafia adalah orang luar, atau bukan kulit putih. Penanda Latin ini dipekuat dengan keajaian yang berlatar toko pinata. 


(Adegan di film Peppermint. Foto: Dok/LakeshoreEntertainment)


Pemilihan karakter yang serba hitam-putih dan mengukuhkan strereotype cukup menganggu plot film. Di luar terlalu berlebihannya aksi brutal Riley dalam merubuhkan satu geng mafia besar seorang diri, dan senjata yang dibawanya berukuran tampak cukup besar dari ukuran tubuhnya. 

Di luar itu semua, bagaimanapun, film aksi ini cukup bisa dinikmati. Atau setidaknya menjadi nilai plus buat sosok perempuan kuat yang tak mudah putus asa dan kembali tegak saat terpuruk jatuh.

Life & health