Life & health

Review Film: 'First Man'

By : Rahman Indra - 2018-10-10 18:37:00


Film First Man membuat kisah perjalanan Neil Armstrong sebagai manusia pertama yang menjejak kaki di bulan pada 1969 terasa lebih dramatis dan sentimentil. Berdurasi hampir 2,5 jam, film drama pertama Damien Chazelle setelah musikal Whiplash dan La La Land ini jauh dari ekspektasi perayaan yang sukacita dan penuh warna. 

Diadaptasi dari biografi Armstrong yang ditulis James R. Hansen (2012), ia lebih memberi perhatian lebih pada karakter pendiam dan serius Armstrong, dan pendekatan emosionalnya dengan Janet (istri pertamanya), dan anak-anaknya, Eric, Karen dan Marc. 

Ryan Gosling yang memukau di La La Land, memerankan Armstrong dengan meyakinkan. Darinya publik tahu bahwa Armstrong adalah sosok yang tak banyak bicara, dan sangat, sangat bagus dalam pekerjaan yang ditanganinya, hingga berhasil menjejak kaki di bulan. Film First Man adalah sebuah perjalanan yang tak mudah, dramatis, dan menggugah emosi terdalam.  

(Baca juga: Review Film: Venom) 

Film dibuka dengan adegan penerbangan luar angkasa yang mengalami turbulensi di tahun 1961. Sang pilot Neil Armstrong muda menghadapi guncangan, kerusakan mesin dan batas antara hidup dan mati yang mengingatkan betapa berbahayanya berada di balik kemudi penerbangan. Apa saja bisa terjadi. 

Adegan 10 menit pertama yang menegangkan di luar angkasa itu menjadi pengenalan pertama dengan sosok Armstrong, sebelum kemudian ia pulang kembali ke rumah, dan mendapati istrinya Janet (Claire Foy), dan dua anaknya Eric serta Karen. 

Kehilangan putrinya Karen karena tumor menjadi pukulan berat dan emosional bagi Armstrong. Namun, itu ia pendam jauh dalam kesendirian.  


(Ryan Gosling dan Claire Foy dalam FIrst Man. Foto: Dok/UniversalPictures)


Suatu kali, ia mendapati adanya lowongan astronaut NASA untuk proyek penerbangan luar angkasa Gemini. Dari pilot tes penerbangan di Edwards Air Force Base, ia kemudian melamar dan diterima di NASA. 

Sebelum menaiki Gemini 8 yang mengantarkannya ke luar angkasa, Armstrong mengalami banyak persoalan dan serangkaian tes dan percobaan. Semuanya menguji ketahanan tubuh, emosi, dan juga jiwanya. 

Proyek Gemini 8 mengalami kegagalan, tapi ia kembali dengan selamat. Kehilangan pilot dan astronaut dalam uji coba roket menjadi hal lumrah yang membuat film ini agak sedikit suram karena adegan kematian dan juga kehilangan. 

Pada 1969, Armstrong kemudian dipercaya lagi pada proyek ambisius ke bulan berikutnya dengan Apollo 11. Bersama Buzz Aldrin dan Michael Collins, ia pada akhirnya berhasil menjejakkan kaki di bulan, dan mengucapkan kalimat yang kini selalu dikutip banyak orang: "one small step for a man, one giant leap for mankind."

(Baca juga: Review Film: Crazy Rich Asians) 

Tak seperti film-film sebelumnya, kali ini Damien Chazelle tak menghadirkan banyak tawa, humor ataupun warna. Justru kejutan terbesar dari film ini adalah ketika ia menghadirkan 'keheningan' yang nyata. Dengan anggapan bahwa di luar angkasa, bahkan suara helaan nafas pun tak akan terdengar saking sunyinya. 

Dengan bantuan naskah yang ditulis Josh Singer (Spotlight, The Post), ia menghadirkan kisah Armstrong yang lebih dramatis dan emosional dibanding film-film tentang Armstrong ataupun Apollo sebelumnya, sebut saja seperti Apollo 13, atau Apollo 11. 


(Neil Armstrong (Ryan Gosling) saat bergabung di NASA dalam First Man. Foto: Dok/UniversalPictures)


Ia juga tak menghadirkan 'perayaan' akan keberhasilan terbesar dalam sejarah itu menjadi yang hiruk pikuk dengan pesta ria dan sebagainya, tapi sebaliknya, dengan kesuraman, dan menggali emosi terdalam manusia. Bagaimana sebuah perjalanan ke bulan, atau profesi sebagai astronaut berada di titik berbahaya. Ketika ia berangkat dari rumah, siapa tahu ia tak akan pernah kembali pulang. 

Claire Foy, memerankan sosok Janet sebagai istri Armstrong dengan sangat kuat. Ada adegan di mana ia meyakinkan bahwa kehilangan sosok ayah bagi anak-anak bukanlah perkara mudah. Armtsrong mestinya tahu bagaimana ia mesti pamit. 

Di luar sisi dramatis dan sentimentilnya Armstrong, Damien unggul dalam teknis menampilkan set latar 1961-1969, serta roket luar angkasa dan segala peralatan kemajuan teknologi di masanya. Ia juga menyelipkan sedikit nuansa politikal dengan kutipan pidato Presiden Kennedy 'Kita pergi ke bulan', yang beradu dengan puisi protes orang kulit hitam yang menyindir banyak persoalan tapi "warga kulit putih ke bulan'. 

Sementara, untuk iringan musik, First Man ditangani Justin Hurwitz yang selalu bekerjasama dengan Damien sejak Guy and Madelin on a Park Bench, Whiplash dan juga La La Land. Menariknya, Damien juga memberi selipan akan keterkaitan Armstrong dengan musik, bahwa astronaut ini di masa mudanya pernah menggubah musikal, salah satunya "The Land of Egelloc" atau 'college' dalam tulisan terbalik. 


(Adegan pelepasan roket di First Man. Foto: Dok/UniversalPictures)


Meski hadir dalam drama yang suram, dan sentimentil, First Man merayakan perjalanan bersejarah umat manusia dengan cara yang paling menggugah. Perjalanan menuju bulan sama sulitnya melepas rasa kehilangan terhadap orang yang paling dicintai. 

Film First Man tayang di bioskop Indonesia mulai Rabu, 10 Oktober 2018. 


Life & health